Pontianak (Antara Kalbar) - Umat Muslim, terutama Melayu Pontianak yang bermukim di sepanjang Sungai Kapuas menyatakan, permainan "meriam karbit" yang setiap tahun mereka lakukan, satu minggu menjelang Lebaran, salah satunya sebagai ungkapan syukur atas kemenangan di bulan Ramadhan.
"Permainan meriam karbit sudah menjadi tradisi turun temurun nenek moyang kami dalam memeriahkan bulan Ramadhan dan menyambut malam takbiran di sepanjang Sungai Kapuas," kata Ketua Umum Meriam Karbit Batas Kota Parit Mayor, Mawardi di Pontianak, Senin.
Ia menjelaskan, seiring berkembangnya zaman, maka kini, permianan meriam karbit juga semakin berkembang, hingga dilakukan dalam bentuk festival meriam karbit yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Periwisata Kota Pontianak dalam melestarikan permainan rakyat tersebut.
"Kelompok meriam karbit kami selalu ikut dalam festival tersebut, dalam ikut berperan serta dalam memeriahkan dan melestarikan permainan rakyat tersebut," katanya.
Untuk tahun 2016 ini, pihaknya akan menurunkan sebanyak 19 meriam karbit, yakni enam buah meriam yang dibuat dari balok kayu, sisanya dari peralon besi dan plastik.
"Hampir setiap tahun kami selalu bergotong royong dalam membuat meriam karbit, baik membuat baru atau merakit kembali meriam tahun-tahun sebelumnya, dalam meyambut atau memeriahkan malam takbiran di Pontianak," ungkap Mawardi.
Menurut dia, masyarakat Kelurahan Parit Mayor secara gotong royong membuat meriam karbit, sejak seminggu berjalannya bulan Ramadhan hingga sekarang.
Pembuatan meriam karbit, selain membutuhkan waktu yang cukup lama, juga memerlukan biaya yang cukup tinggi, yakni sekitar Rp5 juta /unit sehingga harus dilakukan secara gotong royong dan mengumpulkan dana dari sumbangan masyarakat, katanya.
Proses pembuatan meriam karbit, yang dimulai dari kayu utuh, terlebih dahulu dibelah menjadi dua bagian, kemudian bagian itu dilubangi sepanjang kayu yang dibelah menggunakan gergaji mesin atau manual, setelah selesai kedua belah yang telah dilubangi itu disatukan kembali dengan diikat menggunakan rotan.
Proses permainan meriam karbit, yakni agar meriam karbit yang dibuat menghasilkan bunyi dentuman yang keras seperti sungguhan, yakni dengan memasukkan air secukupnya, kemudian dicampur dengan karbit seberat setengah kilogram, kemudian lubang yang telah disiapkan khusus ditutup selama tiga menit, kemudian barulah disulut dengan api.
"Permainan meriam karbit tampak meriah, ketika malam takbiran, karena ratusan meriam karbit akan berbunyi secara bergantian, sehingga seperti di `medan perang`, karena antar kelompok seolah saling serang dengan bunyi khan meriam karbit," katanya.
Tradisi membunyikan meriam sudah dilakukan sejak sultan pertama Pontianak, yakni pendiri Kota Pontianak Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri tahun 1771 Masehi. Pada saat itu Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri dan rombongan menembakkan meriam berpeluru sebanyak dua kali.
Pada saat peluru pertama jatuh di tengah hutan belantara, maka disitulah dijadikan lokasi pendirian Istana Kadriah, dan tembakan kedua atau tepatnya peluru kedua mendarat sebagai penanda lokasi pendirian Masjid Jami` Kesultanan Pontianak yang kini letaknya tidak begitu jauh.
Dulunya tradisi memainkan meriam dibunyikan sebagai tanda awal datangnya bulan suci Ramadhan, dan juga sebagai tanda berakhirnya bulan Ramadhan, yang hingga kini menjadi tradisi masyarakat Melayu Kota Pontianak dalam menyambut dan memeriahkan malam takbiran.
Permainan "Meriam Karbit" Pontianak Sebagai Ungkapan Kemenangan Bulan Ramadhan
Senin, 13 Juni 2016 13:02 WIB