Palu (ANTARA Kalbar) - Sigi adalah kabupaten termuda di Provinsi Sulawesi Tengah dengan usia yang baru menginjak 2,5 tahun.

Ibarat seorang anak, Kabupaten Sigi sudah mulai bisa berjalan namun masih sering terjatuh sehingga membutuhkan pengawasan dari orang tua.

Seorang balita biasanya memiliki tingkah lucu tapi tidak terkontrol sehingga bisa membahayakan dirinya dan orang lain di sekitarnya.

Demikian halnya dengan Kabupaten Sigi. Di daerah berpenduduk tak lebih dari 250 ribu jiwa ini masih membutuhkan perhatian dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah atau Donggala yang merupakan kabupaten induk Sigi sebelum pemekaran.

Saat gempa bumi berkekuatan 6,2 Skala Richter melanda Kecamatan Kulawi dan Kecamatan Gumbasa pada Sabtu (18/8), Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah sigap dengan mengerahkan dua alat berat untuk membuka jalan yang tertimbun longsor.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi sendiri belum memiliki alat berat untuk membuka jalan.

Sementara itu, sejumlah korban luka berat akibat gempa tektonik terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit di Kota Palu yang jaraknya mencapai 65  kilometer dari tempat kejadian.

Kabupaten Sigi yang berbatasan langsung dengan Kota Palu hingga saat ini belum memiliki rumah sakit umum. Sebuah rumah sakit saat ini sedang dibangun di Sigi, dan diharapkan bisa beroperasi pada 2013.

Sigi saat ini dikenal sebagai daerah rawan bencana alam, seperti tanah longsor, banjir, dan gempa bumi.

Gempa pada akhir pekan lalu telah menewaskan enam orang karena tertimpa reruntuhan rumah dan lambat mendapat penanganan.

Sebelumnya pada 3 Desember 2011, telah terjadi banjir bandang disertai tanah longsor di Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi.

Akibat dari bencana itu enam warga tewas terseret derasnya air bah yang membawa bebatuan dan gelondongan kayu.

Sementara itu, belasan warga mengalami luka-luka bahkan tiga orang dirujuk ke rumah sakit di Kota Palu, yang berjarak 75 km dari lokasi banjir untuk mendapatkan perawatan medis.    
   
Bencana itu menghancurkan lebih 130 rumah dan merusak tanaman padi serta kakao yang sebagian besar siap untuk dipanen.

                        Bencana Sosial

Usai merayakan Idul Fitri 1433 Hijriyah, belahan daerah di Kabupaten Sigi lainnya digegerkan oleh bentrok antarwarga yang melibatkan warga Desa Padende dan Desa Binangga, Kecamatan Marawola.

Bentrok yang terjadi pada Senin dini hari itu menewaskan seorang warga bernama Yahya. Korban yang juga seorang guru itu tewas mengenaskan karena terkena sabetan senjata tajam hampir di sekujur tubuhnya.

Makna puasa Ramadhan selama satu bulan nampaknya tidak mengendap di dalam diri warga yang terlibat konflik.

"Jangan sampai setelah puasa dijadikan ajang merayakan kebebasan dengan berbuat keonaran," kata Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Dewa Parsana saat meninjau lokasi bentrok di Sigi.

Warga Desa Padende dan Desa Binangga sebenarnya pernah terlibat beberapa kali pada Maret 2012 yang melukai sejumlah orang.

Sejak 2011 hingga saat, tak kurang dari 19 konflik antarwarga terjadi di Kabupaten Sigi dan telah merenggut dua nyawa sia-sia.

Pada umumnya, pelaku bentrok mempersenjatai dirinya dengan tombak, parang, panah, ketapel, senjata api rakitan, bom molotov, dan petasan.

                       Kesulitan Bahasa

Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Dewa Parsana sempat mengalami kesulitan bahasa daerah saat menenangkan massa yang terlibat bentrok.

Saat menghalau massa di Desa Binangga, imbauan Dewa Parsana tak digubris warga setempat.

Bahkan sejumlah warga terlihat beringas sehingga sejumlah anggota polisi meminta Dewa Parsana untuk meninggalkan lokasi bentrok.

Warga sejumlah desa yang terlibat bentrok adalah warga Suku Kaili yang tinggal di lembah Palu. Bahkan sebagian di antara mereka tidak mengerti Bahasa Indonesia.

Kaili adalah suku terbesar di Provinsi Sulawesi Tengah yang mendiami Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala dan sebagian Kabupaten Parigi Moutong.

Bentrok di Sigi pada umumnya terjadi di daerah lembah atau desa yang jauh dari kota.

Sejumlah polisi akhirnya menarik diri dan mendirikan pos-pos pengamanan untuk menghindari terjadinya konflik susulan.

Dewa Parsana mengimbau kepada masyarakat untuk tenang dan tidak terpancing emosi agar tidak terjadi bentrok yang lebih besar.

Hingga saat ini Kabupaten Sigi belum memiliki Markas Kepolisian Resor sehingga ketika terjadi konflik masih mengandalkan bantuan dari Polres Donggala dan Polda Sulawesi Tengah.

Polres Donggala sendiri berada 50 kilometer dari Ibu Kota Sigi sehingga membutuhkan waktu untuk penanganannya.

Untuk proses pengamanan yang lebih cepat akhirnya dikirim pasukan dari Polres Palu atau Brimob Polda Sulawesi Tengah yang lokasinya lebih dekat.

Saat ini Kabupaten Sigi menjadi sorotan publik dan menjadi terkenal karena dilanda bencana alam dan bencana sosial.

Bencana alam tidak bisa dicegah tapi bisa diantisipasi agar tidak menimbulkan banyak korban jiwa.

Sementara bencana sosial berupa konflik antarwarga seharusnya bisa dicegah dengan kesigapan aparat.

Suasana Lebaran harusnya bisa membuat hubungan warga menjadi lebih baik dengan saling mengunjungi dan berbagi kebahagiaan, bukan sebaliknya.

Dewa Parsana berharap peran ulama dan tokoh masyarakat bisa lebih maksimal untuk meredam emosi warga.

(R026)

Pewarta: Riski Maruto

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012