Pontianak (Antara Kalbar) - Ketua Lembaga Pengkajian Studi Arus Informasi Regional, Deman Huri mengatakan, media sosial dapat menjadi alternatif sebagai "benteng" ampuh dalam penguasaan informasi oleh media-media utama di Indonesia.
"Media utama, masih menjadi corong kebijakan publik dalam menilai sebuah informasi. Termasuk dalam konflik lahan," kata Deman Huri saat dihubungi di Pontianak, Minggu.
Menurut dia, media alternatif tersebut pada akhirnya harus mampu menghubungkan informasi ke media utama yang dapat mempengaruhi informasi yang hendak disampaikan.
Ia mengakui, dominasi informasi tetap dimiliki oleh perusahaan dan pemerintah karena memiliki dana dan publik relation yang profesional. Kondisi itu membuat peluang masyarakat yang tengah berkonflik untuk mengakses ke media, terhambat.
Ia menambahkan, kini banyak pilihan yang dapat dilakukan oleh masyarakat melalui media-media alternatif tersebut. Misalnya Facebook, Twitter, blog, radio, televisi dan media cetak komunitas.
"Dampaknya luar biasa," kata Deman Huri. Ia beberapa waktu lalu didatangi perusahaan besar dan lembaga swadaya masyarakat asal luar negeri setelah menyaksikan video kerusakan lahan di Kalbar yang diunggah melalui media sosial.
Ia menegaskan, hal itu menunjukkan apa yang dilakukan dengan mengunggah melalui media sosial memiliki dampak luas. "Media sosial yang ada harus dimanfaatkan untuk melawan rezim media. Kalau tidak kita akan jadi korban sejarah," ujar Deman Huri.
Sementara penulis buku "Rezim Media", Iswandi Syahputra mengatakan, media di Indonesia bukan lagi sebagai institusi ekonomi dan sosial tetapi juga politik.
Ia melanjutkan, sejumlah hal mendukung terciptanya rezim media di Indonesia. Yakni globalisasi teknologi sehingga sulit mencari orang yang tidak mempunyai telepon selular saat ini. Kemudian, era digital yang memungkinkan satu frekuensi digunakan untuk 25 stasiun televisi.
"Juga terjadi demokrasi yang ditunggangi para kapitalis. Itulah kondisi rezim media," kata dia.
Ia menegaskan, rezim tersebut berbeda dengan era orde baru atau orde lama. "Rezim media tidak bisa kita rujuk, karena bergerak di tangan-tangan halus tanpa terasa tapi menyesatkan," kata Iswandi Syahputra yang juga komisioner Komisi Penyiaran Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
"Media utama, masih menjadi corong kebijakan publik dalam menilai sebuah informasi. Termasuk dalam konflik lahan," kata Deman Huri saat dihubungi di Pontianak, Minggu.
Menurut dia, media alternatif tersebut pada akhirnya harus mampu menghubungkan informasi ke media utama yang dapat mempengaruhi informasi yang hendak disampaikan.
Ia mengakui, dominasi informasi tetap dimiliki oleh perusahaan dan pemerintah karena memiliki dana dan publik relation yang profesional. Kondisi itu membuat peluang masyarakat yang tengah berkonflik untuk mengakses ke media, terhambat.
Ia menambahkan, kini banyak pilihan yang dapat dilakukan oleh masyarakat melalui media-media alternatif tersebut. Misalnya Facebook, Twitter, blog, radio, televisi dan media cetak komunitas.
"Dampaknya luar biasa," kata Deman Huri. Ia beberapa waktu lalu didatangi perusahaan besar dan lembaga swadaya masyarakat asal luar negeri setelah menyaksikan video kerusakan lahan di Kalbar yang diunggah melalui media sosial.
Ia menegaskan, hal itu menunjukkan apa yang dilakukan dengan mengunggah melalui media sosial memiliki dampak luas. "Media sosial yang ada harus dimanfaatkan untuk melawan rezim media. Kalau tidak kita akan jadi korban sejarah," ujar Deman Huri.
Sementara penulis buku "Rezim Media", Iswandi Syahputra mengatakan, media di Indonesia bukan lagi sebagai institusi ekonomi dan sosial tetapi juga politik.
Ia melanjutkan, sejumlah hal mendukung terciptanya rezim media di Indonesia. Yakni globalisasi teknologi sehingga sulit mencari orang yang tidak mempunyai telepon selular saat ini. Kemudian, era digital yang memungkinkan satu frekuensi digunakan untuk 25 stasiun televisi.
"Juga terjadi demokrasi yang ditunggangi para kapitalis. Itulah kondisi rezim media," kata dia.
Ia menegaskan, rezim tersebut berbeda dengan era orde baru atau orde lama. "Rezim media tidak bisa kita rujuk, karena bergerak di tangan-tangan halus tanpa terasa tapi menyesatkan," kata Iswandi Syahputra yang juga komisioner Komisi Penyiaran Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013