Yuni Arisandy
   
Jakarta (Antara Kalbar) - Koordinator Tim Kesehatan Wahana Visi Indonesia (WVI) dokter Candra Wijaya menyarankan pemerintah mengendalikan pesan berbagai iklan susu formula agar khalayak tidak menganggap susu formula lebih baik daripada air susu ibu (ASI).

"Saat ini, iklan susu formula bayi memang didesain seilmiah mungkin. Bahkan, seringkali menimbulkan kesan bahwa susu itu menyerupai atau mengungguli ASI, baik kandungan maupun performanya," kata Candra di Jakarta, Kamis.

Dia menegaskan bahwa zat-zat yang dikandung dalam susu formula, seperti DHA (docosahexaenoic acid) dan EPA (eicosapentaenoic) bukanlah suatu penemuan baru, dan kandungan dalam susu formula tidak mungkin sama persis dan sempurna seperti ASI.

"Dalam iklan, zat seperti DHA dan EPA yang kedengarannya baru itu sebetulnya 'barang lama'. Zat-zat yang dicontek oleh susu formula mungkin boleh sama dengan yang terkandung dalam ASI, tetapi kualitasnya untuk dapat diserap oleh usus bayi masih perlu dipertanyakan," jelasnya.

Lain halnya dengan ASI, menurut Candra, ASI memang mengandung komposisi sedemikian rupa sehingga semua zat yang terkandung di dalamnya terserap sempurna oleh usus bayi.

Selain itu, kata dia, zat-zat yang terkandung di dalam ASI memang diperlukan untuk tumbuh kembang bayi secara optimal.

Koordinator Tim Kesehatan WVI itu menceritakan pengalamannya di Papua yang menunjukkan pengaruh iklan susu formula cukup besar sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam masyarakat bahwa susu formula lebih baik daripada ASI.

Dia mengatakan pada waktu itu Dinas Kesehatan Provinsi Papua membagi-bagikan susu formula melalui puskesmas dan posyandu untuk warga yang memiliki bayi.

"Mereka sangat tergoda dan terkesan dengan iklan-iklan susu formula di TV. Bahkan, mereka terkejut ketika kami sampaikan bahwa ASI sebenarnya lebih baik daripada susu formula," ungkapnya.

Candra juga menyoroti cara penyajian susu formula bagi para bayi dan anak di beberapa daerah yang memang tingkat kualitas sanitasinya masih rendah sehingga konsumsi susu formula tersebut justru cenderung membahayakan kesehatan anak.

"Di beberapa daerah yang sanitasinya masih buruk, susu formula itu seringkali disajikan kering karena tidak ada air bersih untuk menyeduh. Jadi, bungkus dibuka dan susu dimakan begitu saja," katanya.

"Karena kalau dipaksakan diseduh dengan air yang tidak bersih malah berisiko mengakibatkan diare pada bayi dan anak, dan itu berbahaya," lanjutnya.

Oleh karena itu, dia menekankan para ibu menyusui untuk memanfaatkan ASI sebagai pilihan utama untuk anak.

"Itu penting karena menyusui merupakan salah satu komponen utama dalam standar emas makanan bayi," jelasnya.

Dia pun menyarankan agar para ibu di Indonesia sebisa mungkin melakukan inisiasi menyusui dini (IMD), yaitu saat bayi diberikan kesempatan mulai menyusu sendiri segera setelah lahir dengan membiarkan kontak kulit bayi dengan kulit ibu setidaknya satu jam atau lebih sampai menyusu awal selesai.

"Jika bayi yang baru lahir itu belum siap menyusu, jangan dipaksa menyusu," katanya.

Pada kesempatan itu, Candra juga mendorong pemerintah untuk lebih menyosialisasikan dengan baik kebijakan menyusui, yaitu Peraturan Pemerintah No 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.

Dia berpendapat akan lebih baik bila setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak berhenti di level distribusi informasi, tetapi juga ke evaluasi pemahamannya.

"Kami berharap semakin banyak bayi dan anak Indonesia yang bisa memperoleh standar emas nutrisi. Kesuksesan ibu Indonesia dalam memberi ASI akan mendukung terbentuknya generasi penerus yang mumpuni," ujarnya.

Berdasarkan laporan World Breastfeeding Trends Initiative 2012, Indonesia berada di peringkat 49 dari 51 negara yang mendukung pemeberian ASI eksklusif.

Kementerian Kesehatan menargetkan cakupan pemberian ASI eksklusif per 2014 sebesar 80 persen, sementara sampai sekarang hanya 27,5 persen ibu di Indonesia yang berhasil memberi ASI eksklusif. ***4***
 
(A.J.S. Bie)

Pewarta:

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013