Jakarta (Antara Kalbar)  - Mantan Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim menyebutkan ada dualisme ketentuan penetapan keadaan darurat, yakni UU Nomor 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya yang di dalamnya mengatur kerusuhan sosial dan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS).

"Berlakunya kedua UU itu mengakibatkan dualisme hukum pengaturan keadaan darurat di Indonesia karena mengatur substansi yang sama," kata Ifdhal saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam pengujian UU PKS di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Senin.

Dia mengungkapkan kedua UU tersebut memiliki perbedaan dalam beberapa hal terutama menyangkut otoritas (wewenang) dalam penetapan keadaan darurat, dimana UU No. 23/PRP/1959  penetapan keadaan darurat mutlak berada di tangan presiden, sedangkan dalam UU PKS, selain presiden, kewenangan itu bisa didelegasikan kepada gubernur dan bupati/walikota.

Menurut Ifdal, adanya perbedaan ketentuan tersebut sangat tidak menguntungkan bagi perlindungan HAM karena penetapan status daerah konflik memungkinkan dampak adanya pembatasan HAM.  
     
Dia juga mengatakan adanya dualisme ketentuan tersebut membuat situasi konflik itu tidak terdefinisi dengan jelas, apalagi bupati/walikota sebelum menetapkan keadaan konflik harus mendiskusikan dengan DPRD.

Ifdal mengkhawatirkan ada dimensi politik yang cukup kental dalam penetapan daerah konflik itu jika harus didiskusikan dengan pihak DPRD.

Dia juga mengatakan bahwa dalam menangani konflik ini diperlukan peran polisi atau pihak militer yang cukup besar.

Sedangkan ahli lainnya, yakni Letjen TNI (Purn) Agus Widjoyo mengatakan pemerintah daerah tidak bisa menjangkau Polri dan TNI untuk mengerahkan pengamanan di daerah tanpa perintah presiden.

"Yang bisa memerintahkan Polri dan TNI ke daerah adalah presiden, karena TNI dan Polri sifatnya menerima perintah dari pusat. Presiden tidak bisa langsung tiba-tiba menyatakan status keadaan darurat sebelum ada masukan kondisi keamanan di daerah," kata Agus.  
    
Dia mengatakan mekanisme penanganan situasi keadaan bahaya termasuk konflik di daerah sudah diatur jelas dalam UU Keadaan Bahaya, dimana bentuknya bisa status keadaan tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang.

Dia mengungkapkan bahwa masing-masing status keadaan darurat itu memberi kewenangan  hukum yang berbeda, misalnya penetapan darurat militer berada di tangan pemerintah pusat, seperti di Aceh, sementara darurat sipil, yang memegang otoritas kewenangan untuk buat kebijakan adalah pemda.

Koalisi Masyarakat Sipil dan anggota masyarakat - Imparsial, YLBHI, HRWG, dan Anton Ali Abbas menguji 16 dan Pasal 26 UU PKS yang mengatur penetapan keadaan konflik di tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota yang dinilai tak sejalan dengan kaidah penetapan keadaan darurat menurut UUD 1945.

Para pemohon melihat kewenangan menetapkan keadaan darurat ada pada presiden sebagai otoritas yang menggerakkan semua perangkat negara termasuk mengambil alih fungsi yudikatif dan legislatif seperti diamanatkan Pasal 12 UUD 1945.

(J008/E.S. Syafei)

Pewarta: Joko Susilo

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014