Jakarta (Antara Kalbar) - Orang besar memperlihatkan kebesarannya dengan cara bagaimana dia memperlakukan orang-orang kecil.

Kalimat di atas agaknya bisa dipakai sebagai kompas untuk memahami kebesaran Jokowi, Presiden RI, yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya memukau dunia.

Tak perlulah menyebut satu- persatu media massa dunia menyanjungnya sebagai pemimpin berjiwa kerakyatan. Dunia pernah menganugerahinya sebagai wali kota terbaik.

Jokowi belum sebesar Gandhi dan memang tak perlu dibandingkan dengan tokoh antikekerasan India itu. Tapi ingat cara Jokowi berinteraksi dengan rakyat kecil mau tak mau akan menyeret memori orang tentang Sang Mahatma.

Gandhi dan rakyat adalah sebuah senyawa yang menyatu. Jokowi pun menjadi kuat dan besar karena persenyawaannya dengan wong cilik. Pedagang kecil di Surakarta mencintainya, yang terakhir Jokowi berdekatan dengan pedagang Tanah Abang.

Blusukan adalah kosa kata milik Jokowi meskipun istilah itu jauh lebih tua dari umur Jokowi. Bagi Jokowi menjadi pejabat, entah wali kota entah gubernur entah presiden, hakikatnya sam saja. Melayani, itulah esensi menjadi pejabat publik.

Jokowi mungkin bukan pembaca sejarah orang-orang besar yang dengan pretensi hendak mengambil hikmah dari bacaannya itu untuk diaplikasikan dalam praksis kesehariannya sebagai pejabat publik.

Jokowi bukanlah Gus Dur, presiden yang intelektual dan banyak menyerap pengetahuan tentang orang-orang besar dalam sejarah. Gus Dur mungkin terlalu ruwet untuk ukuran Jokowi yang memilih simplisitas dalam memerintah: ketaatan pada aturan, kerja efisien dan efektif.

Orang atau bawahan ngeri dengan Jokowi bukan karena keangkeran ragawi tapi ketegasannya pada taat aturan. Secara jasmani, Jokowi tak jauh dari Tukul Arwana, tokoh hiburan yang juga sama memukaunya dengan Jokowi. Keduanya sama-sama bangga menjadi orang beraut muka desa. Sebelum ditertawakan, mereka menertawakan diri.

Para pakar politik lebih banyak yang berempati daripada yang melecehkannya. Salah seorang kolumnis isu politik menulis: Campur tangan Tuhan, itulah penyebab kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014.  Jokowi  dipuja di media sosial oleh kaum muda dan tua, kaum cerdas dan dungu, siapa pun. Mereka menyumbang saat kampanye Pilpres 2014.

Lawan-lawan politiknya melancarkan fitnah dan memutarbalikkan fakta. Jokowi dengan enteng menjawabnya: Aku rapopo, aku tak apa-apa.

Jokowi mendatangi Prabowo Subianto (pesaingnya dalam Pilpres 2014) di rumah sang ayah, Sumitro Djojohadikusumo untuk mengguyubkan kembali ketegangan politik selama pertarungan merebut kursi presiden.

Sejarah telah ditorehkan oleh kiprah politik agung Jokowi. Seorang presiden terpilih di sebuah negara besar telah meringankan hati dan kaki untuk mendatangi politisi yang dikalahkannya dalam persaingan politik akbar.

Tak sedikit komentator yang menyayangkan bahwa Jokowi mestinya tak perlu merendahkan diri dengan mendatangi Prabowo.  Tapi ada yang menangkis para komentator itu dengan argumen begini: Jokowi  tak mengenal kultur politik lama yang mengharamkan presiden terpilih mendatangi lawan yang dikalahkannya.

Jokowi adalah fenomena baru, dia masih terlalu terhormat untuk datang ke rumah lawan politik yang dikalahkannya. Bagi Jokowi,  Prabowo adalah sahabat dan persahabatan itu bukan dipamerkan secara basa-basi.

Sampai titik ini, sampai pelantikannya sebagai Presiden pada 20 Oktober ini, Jokowi adalah sebuah potret sempurna dan dunia memujinya. Itu juga yang terjadi pada Gus Dur saat diangkat MPR menjadi Presiden RI. Setelah itu, Gus Dur tak kuasa mengendalikan berbagai manuver politik kaum oportunis yang juga musuh-musuh ideologisnya.

Jokowi perlu membaca sejarah perjalanan politik Gus Dur sebagai presiden agar tak terkutuk untuk mengulanginya. Tentu masa depan politik Jokowi tak secorak dengan Gus Dur karena Jokowi dipilih langsung oleh rakyat. Legitimasi kerakyatannya begitu kukuh untuk digulingkan oleh wakil-wakil rakyat dalam MPR.

Jokowi jangan sampai mengulang tragedi tentang orang besar yang dikelilingi oleh orang-orang penjilat, oportunis, dan pembual. Blusukan akan membuka mata dan telinga sang pemimpin tentang realitas masyarakat.  Masalahnya: masihkah blusukan itu dimungkinkan oleh protokol kepresidenan?
    
Yang mencintai Jokowi begitu banyak, tentu yang membenci juga ada. Bahkan pembenci paling sadis adalah pemujanya yang sakit hati karena merasa dikecewakan sang pemimpin. Tragedi inilah yang dialami Mahatma Gandhi saat dia ditembak mati oleh pengikutnya  yang fanatik. Gandhi dianggap terlalu memberi hati pada kaum yang mesti ditentangnya.

Jokowi harus dilindungi dan diselamatkan dari tragedi-tragedi yang pernah menimpa tokoh-tokoh penting dunia di masa silam. Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin pun mengalami nasib naas itu.

Jokowi ada yang menilainya sebagai hadiah terindah dari Tuhan untuk Indonesia yang lebih baik dan lebih sejahtera di masa kini dan mendatang.

Sukses Jokowi adalah sukses Indonesia. Kebersamaan adalah kata kunci untuk mewujudkan mesa depan yang diidamkan itu.  Di era yang semakin kompleks ini, sukses dan perubahan ke arah yang lebih baik hanya dimungkin oleh sebuah koalisi kebersamaan. Itu pula yang dinantikan Jokowi pada semua pendukung maupun lawan politiknya. Awasi diriku, kritiklah aku, itulah permohonan tulus Jokowi pada Prabowo.

Selamat datang dan bekerja, Pak Presiden!

Pewarta: Mulyo Sunyoto

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014