Pontianak (Antara Kalbar) - LSM Elpagar mencatat sejak tahun 1997-2014 di Kalbar, kekerasan dalam konflik lahan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, kata Direktur Elpagar Kalbar Furbertus Ipur.

"Sepanjang tahun 1997-2014 tercatat sebanyak 128 insiden kekerasan yang terkait dengan konflik lahan yang mengakibatkan 15 tewas, 59 korban cedera, dan 64 bangunan rusak," kata Furbertus Ipur di Pontianak, Kamis.

Ia menjelaskan tahun 2012 tercatat sebagai periode dengan insiden kekerasan terkait konflik lahan yang paling besar, yakni sebanyak 19 insiden, menyebabkan tiga orang tewas, tujuh cidera, dan 20 bangunan rusak.

Dalam pemantauan, SNPK (Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan) Kalbar, mencatat Kota Pontianak merupakan wilayah dengan konflik lahan terbanyak 44 insiden, mengakibatkan satu orang tewas, 24 cedera, delapan bangunan rusak.

"Tingginya intensitas konflik lahan di Pontianak disebabkan pertikaian batas lahan sesama warga, dan perebutan tanah warisan, seperti peristiwa konflik lahan antara warga, menyebabkan dua orang baku hantam karena persoalan batas tanah, yang menyebabkan satu ibu-ibu luka di tahun 2002," ungkapnya.

Kemudian konflik lahan akibat perebutan harta warisan, terjadinya di Pontianak gara-gara warisan kakek "has" mengamuk dan menghancurkan kaca, meteran listrik, membongkar lantai rumah dan membakar kursi bulan Juni 2012, katanya.

Menurut dia konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan disebabkan terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan, yang umumnya kepemilikan lahan di masyarakat secara turun temurun yang dilakukan secara tradisional.

"Sehingga kelemahan itu dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memiliki lahan secara ilegal, karena mereka didukung secara politik oleh pemerintah setempat (oknum BPN untuk menerbitkan sertifikat), aparat keamanan dan preman-preman sewaan," ujarnya.

Keterlibatan aparat kepolisian dalam lingkaran persoalan konflik lahan, seperti di Sintang tahun 2010, 15 warga Sejirak dipanggil kepolisian tahun 2010, dan menyebabkan ke-15 warga itu dibui, karena mereka membuat ladang di lahan yang diklaim milik PT Finnantara Intiga.

"Kemudian konflik lahan tahun 2006, yang menyebabkan dua warga Semunying Jaya dengan PT Ledo Lestari yang menyebabkan hutan adat masyarakat setempat dirampas oleh pihak PT Ledo Lestari, dan masih banyak lagi kasus konflik lahan antara masyarakat dan pemilik perkebunan," katanya.

(A057/N005)

Pewarta: Andilala

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015