Survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis secara daring pada maret 2021 lalu, menunjukkan bahwa secara umum demokrasi Indonesia turun 36 persen. Sementara bagi Gen Z (17 - 21 tahun), demokrasi Indonesia menurun 40 persen. Penilaian responden muda pada survey itu lebih kritikal atas besarnya ekspektasi mereka terhadap kondisi demokrasi tanpa pernah merasakan demokrasi era orde baru. Hanya 17.7 persen keseluruhan responden yang menyatakan demokrasi Indonesia lebih baik.

Penilaian atas demokrasi itu bisa saja subjektif hanya pada ‘hak berpendapat’, meskipun hal tersebut jugalah salah satu alarm yang harusnya membangunkan berbagai instrumen yang tergabung dalam proses bernegara. Kita seharusnya tertawa karena lelucon para lakon itu kini secara terang dipentaskan dalam panggung politik Indonesia. Benar saja, betapa lucu serta menggemaskannya UU KPK, Omibus Cipta Kerja, UU MK, dan UU Minerba. Terlebih, saat TWK KPK dengan pertanyaan “Pilih Al- Qur’an atau Pancasila?”.

Adegan menarik lain adalah, politik bagi-bagi kursi secara nyata. Coba lihat, dari susunan kabinet periode jabatan Presiden Jokowi-JK dan Jokowi-Ma’ruf Amin. Proporsi komposisi antara professional dan politisi dalam kabinetnya tidak jauh berbeda, tetapi kalangan professional itu juga bukanlah semata-mata orang yang ‘bersih’ dari afiliasi kepentingan partai.

Klientelisme pada periode pertama ditandai salah satunya dengan menjabatnya Ketua Timses Jokowi 2014 Adrinof Chaniago sebagai Kepala Bappenas; salah satu donator terbesar periode itu, Amran Sulaiman menjadi Menteri Pertanian; pemikir dalam tim kampanye; Luhut Binsar panjaitan, bahkan rela keluar Golkar. Kita tidak membahas Lord Luhut karena asas lex specialis akan berlaku dalam analisa peran Luhut jika dilanjutkan. Kemudian pada periode kedua, Abdi Negara Nurdin atau Abdee Slank, seorang musisi personel band Slank, didapuk menjadi komisaris independen PT Telkom Indonesia (persero) Tbk aktivis reformasi yang menjadi relawan Jokowi dalam dua periode pemilu, Fadjroel Rachman menjabat Komisaris utama PT Adhi Karya belum lagi Prabowo Subianto, oposisi yang mejadi Menteri Pertahanan.

Dalam buku Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia karya Ben Bland, dikatakan bahwa pelumpuhan oposisi ini menjadi akhir dari perjalanan.

Masyarakat yang menjadi fans dari pentas seni politik pemerintah membuat gerakan seperti #reformasidikorupsi serta aksi-aksi lain yang semakin kehilangan arti. Sejak awal mungkin citra Jokowi bukanlah sosok yang ia citrakan pada masa kampanyenya.

Politik distributive yang diciptakannya melahirkan pejabat rente serta melanggengkan oligarki. Keseluruhannya itu berawal dari permasalahan moral dan kekuasaan yang mengabaikan kebaikan bagi warga negara: korupsi politik. Melalui salah satu bahan ajarnya, Anti Corruption Learning Centre KPK menjelaskan bahwa tahapan kerusakan demokrasi yang diakibatkan oleh korupsi adalah (1) hilangnya kepercayaan masyarakat; (2) hancurnya kedaulatan rakyat; (3) menguatnya Plutokrasi; (4) munculnya kepemimpinan korup. Lalu dimanakah tahapan kerusakan akibat korupsi kita saat ini?. Proses distribusi sumberdaya dalam politik memanglah hal ikhwal, tetapi meraih keuntungan tertentu dengan metode klientel itu yang berbahaya.

Sebagai hasil cipta karsa dan rasa manusia, demokrasi adalah aktualisasi penalaran manusia sebagai mahkluk sosial tanpa pretensi untuk menjustifikasi melalui aspek-aspek batiniah.

Produknya kemudian dikukuhkan dalam bentuk demokrasi Pancasila yang mengambil jalur tengah antara teo-demorkrasi dan sekuler.

Tetapi nilai luhur itu terciderai dengan kleptokrat politis, ekonomis dan sosial sebagai patron pemerintahan. Istilah kleptokrasi sendiri popular setelah digunakan Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968).

Dengan demikian, praktik korupsi itu menjadi sebuah sistem menjalankan pemerintahan. Seram untuk dibayangkan jika Pancasila sebagai grundnorm kita, falsafah hidup negara kemudian dijadikan alat untuk melegalkan praktik-praktik korupsi. Itulah kenyataan yang terjadi, meskipun belum sampai pada bentuk utuh dari praktik kleptokrasi.

Korupsi Politik kita terus berevolusi mengikuti perkembangan zaman seiring dengan revolusi hukum yang mengelilinginya.

Meski begitu banyak kejanggalan yang dipertontonkan, praktik kesewenang-wenangan tidak secara gamblang bisa kita katakan. Hal ini adalah keajaiban tameng demokrasi jika dipergunakan secara salah. Tantangan pemberantasan korupsi yang hidup pada era 4.0 ini, tidak hanya pada pucuk eksekutif setelah penetapan APBN, tetapi jauh lebih sistematis baik horizontal maupun vertikal. Kontestasi politik semakin irasional dengan pola klientelisme bertebaran dan usaha state capture yang teraktualisasi.

Jika pada umumnya, tindakan korupsi itu dikarenakan oleh kesempatan dan niat pelakunya, saat ini korupsi disebabkan oleh budaya masyarakatnya. Pancasila yang diangkat dari budaya luhur masyarakat Indonesia merintih melihat masyarakatnya.

Akankah Indonesia menjadi negara kleptokrasi Pancasilais? Jika saat ini aparatur negara sepakat, setuju, seirama untuk menjalankan pemerintahan korup. Penulis tidak sepenuhnya menyalahkan kultur hukum masyarakat Indonesia yang memang masih pada tahap pra-konvensional ini.

Masih ada aspek substansi dan strukral yang juga andil dalam keberhasilan hukum merespon kebutuhan sosial sebagaimana idealitas Selznick dan Nonet dalam melihat hukum.  Sebagai warga negara, upaya yang dapat kita lakukan adalah mengikat moralitas diri sendiri. Jangan sampai ia ikut terbang tinggi, jauh meninggalkan jiwa manusia seperti patron-patron buruk dalam pentas politik ini.

Jika dapat diterapkan secara utuh dan penuh, maka hukum tidak akan menjadi hegemoni bagi masyarakat ‘tak berkelas’ seperti kita. Ideologi Pancasila tidak akan mudah untuk disusupi nilai-nilai korup meskipun dalam praktik, kebaikan yang dimilikinya disalah gunakan.

Masyarakat adalah syarat utama tebalnya tameng demokrasi. Jika pemerintah belum bisa indiscriminate, setidaknya, kita sebagai masyarakatlah yang mencontohkan keadilan dan merangkul semua golongan. Sehingga hakikat kleptokrasi Pancasilais hanya ilusi dalam tulisan ini.

Penulis: Wisnu Nanda Hutama (Mahasiswa S2 Universitas Sebelas Maret)

Pewarta: Teofilusianto Timotius

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021