Jakarta (Antara Kalbar) - Banyak mata yang semula tak peduli seolah memaling seketika kepada hamparan hutan Indonesia yang beberapa di antaranya telah rusak parah.
Beberapa pihak memang seolah sadar belakangan ketika ternyata hutan dalam beberapa waktu terakhir dianggap mampu mendatangkan dana kompensasi yang besar dari negara-negara maju untuk negara pemilik hutan terbesar termasuk Indonesia melalui program penurunan emisi gas rumah kaca, seperti Reduce Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus, dikenal sebagai REDD+.
Provokasi bisnis karbon melalui program tersebut memang dikhawatirkan mengundang para "pembonceng gelap" yang mencari kesempatan dan keuntungan dari pengelolaan hutan lestari.
Meski ada niat mulia yang terkandung dalam program tersebut namun jika program REDD+ hanya didasarkan pada pemikiran memperoleh kompensasi dana hijau dari negara-negara industri yang mengumbar karbon tanpa memiliki hutan penyerapnya, maka hutan Indonesia tidak lebih dari sebuah instrumen untuk mencairkan dana hibah tersebut.
Padahal pengelolaan hutan yang lestari dengan tata kelola, pengendalian, dan perluasannya harus ditekankan pada manfaat lahan untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas dengan segala daya dukung di sekitarnya.
Meskipun tak dapat dielakkan bahwa kini dana hibah internasional dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca memang sedang menjadi tren.
Indonesia sendiri memiliki kerjasama di bidang kehutanan dan penanggulangan dampak perubahan iklim dengan pemerintahan Norwegia sejak 2010.
Dalam kerangka itu Norwegia memberikan dana hibah senilai 1 miliar dolar AS atau Rp 9,4 triliun kepada pemerintahan Indonesia.
Di mata Norwegia, Indonesia miliki nilai yang sangat strategis, sebagai pemilik hutan tropis yang besar guna mengurangi emisi gas rumah kaca.
Sementara Indonesia telah melaksanakan beberapa prioritas seperti, pembentukan REDD+ Agency dan instrumen pendanaan (funding instrument), penyusunan Strategi Nasional REDD+ dan pembentukan sistem MRV (monitoring, reporting and verification).
"Beberapa kemajuan yang telah dilakukan Indonesia adalah, pembentukan Satgas REDD+ baru melalui Keppres No 25/2011, penandatangan MoU antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Satgas REDD+ mengenai pilot project REDD+, dan dikeluarkannya draft final Strategi Nasional REDD+ untuk memberi arah bagi solusi komprehensif terhadap penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan," kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam kunjungannya ke Oslo beberapa waktu lalu.
Menteri Lingkungan Hidup Norwegia Bard Vegar Solhjell dalam sesi pertemuan dengan wartawan di Markas Program Lingkungan PBB (UNEP) di Nairobi, Kenya, beberapa waktu lalu juga menegaskan Pemerintah Norwegia melihat Indonesia telah berbuat banyak untuk menanggulangi penggundulan hutan dan dampak perubahan iklim.
Menurut dia, hibah Norwegia tetap berlaku sesuai dengan komitmen yang dibuat sebagai bagian dari kerja sama di bidang kehutanan dan penanggulangan dampak perubahan iklim.
Kementerian Kehutanan sendiri menargetkan mampu menyerap 1,24 giga ton CO2 melalui program penanaman 500.000 hektar pertahun.
Peningkatan stok karbon itu juga diharapkan akan mendongkrak potensi ekonomi komoditas karbon dalam beberapa tahun ke depan.
Potensi karbon di hutan Indonesia diperkirakan mencapai 250 ton perhektar dengan proyeksi keuntungan sekitar Rp20 juta per hektar. Pemerintah tengah mendorong nilai acuan karbon dapat dihargai 8 dolar AS per ton.
Manfaat REDD+
Pietsau Amafnini, Koordinator organisasi yang berbasis di Manokwari, JASOIL Tanah Papua, dalam salah satu tulisannya menyebutkan masyarakat yang memiliki hak atas tanah target REDD+ (tanah, hutan dan gambut) tidak memahami dan tidak banyak dilibatkan dalam pencapaian konsensus di tingkat nasional dan lokal, untuk menentukan persiapan bagi pelaksanaan REDD+.
"Inilah yang terjadi dengan proyek perdagangan karbon yang diprakarsai oleh pemerintah provinsi Papua Barat," tulisnya.
Direktur LSM PERDU Manokwari Mujianto menerangkan berdasarkan pengalaman studi PERDU di Kabupaten Kaimana yang merupakan daerah yang dilirik dan dicalonkan oleh pemerintah provinsi Papua Barat sebagai kawasan proyek REDD dan Perdagangan Karbon, fakta menunjukkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan saat ini masih ditemukan izin pemerintah masih dominan diberikan kepada pemilik modal-perusahaan; Pasca OHL II (OHL II adalah operasi polisi kedu untuk memberantas illegal logging), izin bagi masyarakat lokal praktis tidak ada.
"Kerja sama dengan masyarakat pun otomatis tidak berjalan kalaupun masyarakat lokal memanfaatkan hasil hutan khususnya kayu, lebih untuk sekadar memanfaatkan momentum pasar lokal yang tersedia dengan volume yang sangat terbatas dan tanpa perencanaan memadai sementara potensi kehilangan hutan alam akan semakin tinggi seiring dengan pergerakan modal ke daerah ini untuk diinvestasikan dalam berbagai sektor pemanfaatan sumberdaya alam," katanya.
Padahal secara turun-temurun masyarakat lokal penghidupannya bergantung dari kekayaan alam, termasuk kekayaan hutan di mana pengelolaan hutan dan pemanfaatanya dilakukan dengan cara yang sederhana berdasarkan pengetahuan setempat.
Artinya, pemanfaatan hasil hutan masih sebatas untuk kebutuhan rumah tangga dan tidak membutuhkan teknologi yang merusak hutan secara cepat.
Jika demikian, menurut dia, maka hampir dapat dipastikan masyarakat adat di sekitar hutan itu jauh lebih arif dalam menjaga kelestarian hutan alam untuk proyek REDD.
"Namun ketika hutan alam mau dijadikan bisnis oksigen atau perdagangan karbon, maka masyarakat adat setempat harus secara langsung dilibatkan secara penuh dan juga mendapatkan manfaatnya secara langsung, termasuk dalam hal kompensasi berupa uang tunai,¿ kata Muji.
Simpang Siur
Skema REDD+ yang diyakini bisa menekan tingkat deforestasi di negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis seperti Indonesia memang sempat simpang siur.
Mekanisme pembayaran dan penghitungan karbon yang berhasil diselamatkan dalam satuan waktu tertentu oleh negara-negara berkembang masih terus menjadi bahasan.
Aslinya, skema ini direncanakan sebagai sebuah "balas jasa" negara-negara maju terhadap sejumlah negara berkembang yang berhasil menjaga hutan hujan mereka, dengan memberikan insentif yang dihitung berdasar kandungan karbon yang berhasil disimpan dalam tutupan hutan.
"Kendati begitu, Pemerintah Indonesia tetap menyiapkan sistem informasi safeguards REDD+ yang diharapkan bisa mengantisipasi penyimpangan penyaluran bantuan asing terkait skema REDD+ di Indonesia," kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.
Sistem Informasi Safeguards merupakan panduan umum implementasi REDD+ yang disesuaikan dengan kondisi dan kapabilitas nasional masing-masing negara.
Selanjutnya evaluasi pelaksanaan safeguards akan dibahas pada forum internasional, katanya.
Beberapa prinsip safeguards, yaitu tersedianya informasi yang transparan dan konsisten, fleksibel, mudah diimplementasikan di tingkat nasional serta dibangun melalui sistem yang sudah ada.
Meski begitu, beberapa di antara dana itu rupanya telah cair.
Komisi IV DPR RI Nabiel Almusawa beberapa waktu lalu mengatakan Pemerintah Indonesia telah menerima kucuran dana investasi iklim untuk penurunan emisi gas rumah kaca dari perusakan dan pembukaan hutan sebesar 67,5 juta dolar AS.
Ia mengatakan, dana investasi iklim untuk penurunan emisi gas rumah kaca dari perusakan dan pembukaan hutan REDD sebesar 67,5 juta dolar AS tersebut terbagi dua berbentuk hibah (grant) sebesar 37,5 juta dolar AS dan pinjaman lunak (soft loans) sebesar 30 juta dolar AS.
Dana hibah diberikan kepada publik, bisa LSM atau masyarakat sedangkan dana pinjaman lunak diberikan kepada sektor swasta kecil dan menengah.
"Dana ini sudah ada sejak November 2012, tetapi belum dicairkan kepada pihak penerima karena belum ada pengajuan yang masuk ke Sekjen Kementerian Kehutanan. Ini merupakan kesempatan bagi LSM," katanya.
Namun apapun bentuknya, apapun alasannya, masyarakat sekitar hutan dengan segala daya dukungnya harus menjadi pihak pertama yang merasakan kesejahteraan hutan mereka di tengah menggiurkannya kucuran dana hibah pada perdagangan karbon dunia.
Artikel - Hutan di Tengah Dana Hibah yang Menggiurkan
Minggu, 24 Maret 2013 17:43 WIB