Jakarta (Antara Kalbar) - Jika penyerbuan puluhan prajurit TNI-AD ke kantor polisi di Ogan Komering Ulu(OKU) Provinsi Sumatra Selatan belum lama ini masih bisa disebut sebagai hal yang "biasa" karena perkelahian antarprajurit dari dua angkatan atau angkatan dengan Polri telah menjadi kejadian yang berulang kali terjadi.
Namun peristiwa tawuran yang terjadai antara anggota Brimob dengan Sabhara menjadi peristiwa langka.
Hanya karena layanan pesan singkat atau sms, maka puluhan anggota Brigade Mobil (Brimob) menyerbu kantor Satuan Bayangkara(Sabhara)di Semarang.
Gara-gara peristiwa memalukan ini, maka puluhan prajurit muda Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Polda Jawa Tengah itu diinterogasi. Gara-gara peristiwa memalukan ini, maka Polri terpaksa membela diri dengan menjelaskan seribu satu macam dalih.
"Mereka didik selama enam bulan setelah lulus dari SMA sehingga langsung menjadi polisi. Peristiwa ini tentu menjadi pelajaran," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Ronny S Sompie ketika berusaha menjelaskan sikap Polri yang menganggap " enteng" kejadian di Semarang pada Rabu malam (24/7) tersebut.
Bentrokan itu terjadi setelah sebuah sms yang diduga dikirimkan anggota Sabhara tentang "tidak bernyalinya" anggota-anggota Brimob tersebut, sehingga kemudian anggota Bayangkara muda dari satuan Brimob menjadi naik darah dan kemudian mendatangi kantor Sabhara yang terletak di kawasan Bukit Semarang Baru(BSB) di ibu kota Provinsi Jawa Tengah tersebut. Akibat sms yang tidak bermutu itu, maka terjadi tawuran atau bentrokan fisik sehingga sekitar empat orang dari masing-masing satuan menjadi terluka.
"Intinya pesan sms itu menyebutkan Brimbob tidak punnya nyali," kata Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Polisi Dwi Priyatno.
Seusai mendatangi asrama Direktorat Sabhara Polda Jawa Tengah pada hari Kamis, maka Kapola Jawa Tengah juga berusaha "mengecilkan" bentrokan antarpolisi ini seperti halnya Kepala Divisi Humas Polri dengan menyatakan bahwa para prajurit Brimob dan Sabhara itu baru sekitar lima bulan menjadi anggota Polri dengan menyandang pangkat brigadir, yang merupakan jenjang pangkat tingkat bawah di lingkungan polisi.
Menurut Kapolda, para prajurit muda itu akan diajukan ke sidang disiplin, dan tidak tertutup otak bentrokan ini bisa dipecat atau sedikitnya mendapat teguran keras.
Seorang warga yang menyaksikan aksi kekerasan ini kemudian memberikan komentar yang menarik usai anggota Brimob yang mendatangi kantor Sabhawa dengan motor.
"Saya kira ada maling yang ditangkap polisi. Ternyata itu polisi dengan polisi ya," kata seorang warga bernama Ngatpiah.
Sementara itu, mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Novel Ali menegaskan kejadian itu sangat mencoreng wibawa Polri di tengah-tengah masyarakat.
"Ada nilai-nilai yang dilanggar sehingga pelakunya harus ditindak tegas," kata Novel Ali tentang ulah puluhan polisi muda itu.
Cuma Dilatih Fisik
Kalau masyarakat di Tanah Air merenungkan musibah ini, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa tawuran ini terjadi karena polisi-polisi muda itu hanya didik sekitar enam bulan saja. Hampir bisa dipastikan bahwa materi pendidikan yang diajarkan kepada mereka hanyalah bagaimana meningkatkan kemampuan otot alias kekuatan fisik mereka dan bagaimana cara menembak terutama karena Brimbob adalah "satuan tempurnya" Polri.
Materi pembinaan mental diduga tidak mendapat porsi yang penting misalnya bagaimana membina atau mempertahankan rasa kebersamaan korps atau korsa hanya beberapa persen saja di Sekolah Polisi Negara atau SPN.
Tawuran antarprajurit itu akhirnya terpaksa dilaporkan juga kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian memerintahkan Kepala Polri Jenderal Polisi Timur Pradopo untuk mengambil tindakan tegas dan berusaha agar musibah ini tidak terulang di masa mendatang.
"Kepala Polri dan jajarannya diperintahkan untuk berkoordinasi agar hal ini tidak terulang kembali. Ini tidak baik bagi institusi Polri," kata Juru Bicara Kepresidenan Julian aldrin Pasha di Jakarta, Kamis ketika mengutip pernyataan SBY.
Jika memperhatikan komentar Kepala Negara dan para pakar, maka apa yang dapat disimpulkan masyarakat terhadap musibah ini? Jika pendidikan di akademi Kepolisian atau Akpol bisa berlangsung tiga hingga empat tahun maka masa pendidikan di SPN hanya sekitar enam bulan. Akibatnya, hasil pendidikan yang cuma berbulan-bulan itu menghasilkan prajurit- prajurit yang hanya bisa menembak tanpa memiliki kemampuan intelektual yang tinggi.
Tentu Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri( Lemdiklat) memiliki banyak dalih untuk menjelaskan mengapa SPN hanya melakukan pendidikan sekitar enam bulan.
Paling-paling alasan klasik mereka adalah karena yang dididik adalah "cuma" bintara maka yang yang diutamakan adalah menghasilkan prajurit Polri yang mempunyai kemampuan fisik secara maksimal sehingga pembinaan mental kurang mendapat perhatian yang maksimal. Selain itu, SPN-SPN itu setiap tahunnya dibebani mendidik ratusan bahkan mungkin ribuan bintara yang memerlukan biaya yang sangat besar.
Namun karena Kapolri Jenderal Timur Pradopo tak lama lagi akan dipensiun sehingga harus digantikan oleh calon yang umumnya berpangkat komisaris jenderal atau komjen atau inspektur jenderal alias irjen, maka tentu masyarakat tentu berhak untuk menitipkan harapannya yang besar atau bahkan tinggi.
Karena kapolri akan segera diganti yang kemudian diikuti dengan pejabat-pejabat senior dibawahnya, maka tentu pendidikan mental dan moral harus mendapat prioritas tinggi dan tidak ala kadarnya saja.
Yang dihasilkan SPN-SPN terutama adalah brigadir-brigadir yang sasaran utamanya adalah memang memiliki otot atau kekuatan fisik yang prima sehingga "otak" mereka tidak diasah dengan maksimal. Kalau kedaan ini dibiarkan terus maka yang terjadi adalah sebagian besar jajaran Polri hanya diisi oleh prajurit dengan kekuatan utama otot dan bukannya otak, padahal masa mendatang membutuhkan bhayangkara yang nilai otaknya semakin penting dan cemerlang.
Tantangan Polri di masa mendatang adalah bagaimana menyelesaikan kasus atau masalah dengan otak yang baik atau cemerlang dan bukannya dengan kemampuan fisik apalagi tingkat pendidikan masyarakat di Tanah Air akan semakin tinggi atau baik.
Musibah tawuran di Semarang dan juga di Ogan Komering Ulu, Sumsel haruslah menyadarkan jajaran Polri terutama yang bertugas di Mabes Polri bahwa pendidikan mental dan moral menjadi semakin penting, karena tantangan fisik dan prajurit-prajurit tingkat bawahakan bisa semakin berkurang. Jika mayoritas prajurit Polri memiliki kemampuan otak dan mental yang tinggi dibandingkan dengan ototnya maka tentu tawuran di Semarang tidak akan terdengar lagi pada masa mendatang.
Artikel - Tawuran Prajurit Brimob-Sabhara Hanya Permalukan Polri
Minggu, 28 Juli 2013 16:47 WIB