Solo (Antara Kalbar) - Eksistensi jenang pada tradisi masyarakat Jawa dan Solo khususnya sudah hidup mengakar sejak zaman Hindu dan era Walisongo sampai masa kini. Jenang selalu hdir sebagai simbol ungkapan rasa syukur kepadaNya.
Bersyukur atas karunia hasil bumi ciptaanNya yang telah menghidupi manusi dari proses kelahiran sampai kematian. Masyarakat Jawa khususnya di wilayah Surakarta dan sekitarnya, semua ritual selamatan itu tak pernah lepas dari keberadaan jenang.
Kehadiran jenang - pada umumnya makanan khas ini dibuat dari tepung beras atau tepung ketan, dimasak dengan santan ditambahkan gula merah atau gula putih - tak hanya sekedar berfungsi sebagai makanan pelengkap saja, melainkan juga simbol doa, harapan, persatuan dan semangat masyarakat Jawa itu sendiri.
Slamet Raharjo Pelindung Yayasan Jenang Indonesia mengatakan secara sosiologis jenang merupakan jenis kuliner yang lahir dari kreativitas masyarakat dan eksistensinya bebas dari atribut status sosial dan etnis. Atau dengan kata lain jenang bersifat demokratis, egaliter, spiritual dan relegius.
Sifat yang melekat secara implisit itulah yang bisa membuat jenang punya nilai edukatif pada masyarakat. Suatu nilai edukatif dalam membangun kebersamaan masyarakat Solo untuk saling berbagi dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Jawa, khususnya di Wilayah Surakarta dan sekitarnya, semua ritual selamatan tak pernah lepas dari keberadaan jenang (bubur). Kehadiran jenang di sini tak hanya sekedar berfungsi sebagai makann pelengkap, saja melainkan juga simbol doa, harapan, persatuan dan semangat masyarakat Jawa itu sendiri.
Misalnya untuk mendoakan supaya ibu hamil diberikan kelancaran dalam melahirkan, maka dibuatlah selamatan dengan menggunakan jenang procotan. Begitu pula ketika memberi nama kepada bayi setelah lahir maka dibuatlah jenang sepasaran.
Setelah punya hajat pernikahan supaya pengantin dan seluruh panitia yang terlibat diberi kesehatan, berkah dan kekuatan maka diadakan selamatan dengan membuat jenang sungsum.
17 macam jenang
Begitu pula dalam rangka Festival Jenang Solo yang digelar dari tanggal 22--23 Februari 2014 dalam rangka memeriahkan hari jadi kota Solo ke 269, dengan menampilkan 17 macam jenang yang mengiringi boyong Keraton Kartasura ke Keraton Kasunanan Surakarta, tidak terlepas dai simbol-simbol.
Ketua yayasan Jenang Indonesia Heru Mataya yang juga sebagai Ketua Panitia Festival Jenang, mengatakan dari 17 macem jenang yang menghiasi pada festival tersebut semuanya mengandung makna bagi masyarakat Jawa khususnya orang Solo dan sekitarnya.
Heru Mataya mengatakan seperti jenang abrit petak mempunyai makna warna merah dan putih merepresentasikan penciptaan/asal-usul manusia laki-laki dan perempuan, jenang maknanya selalu melihat sesuatu dengan dimensi yang luas, namun tetap fokus dengan apa yang menjadi tujuan.
Jenang saloko maknanya kesucian itu milik Allah. Manusia harus selalu mewaspadai nafsu 'aku' pada dirinya berani mengoreksinya dirinya, sebagai jalan untuk bisa mengenal Allah, jenang manggul maknanyakita harusmenjunjung tinggi kebaikan leluhur yang telah mewariskan segala bentuk pengetahuan pada siri kita, jenang suran maknanya waktu itu terbatas dan selalu menjalani siklusnya. Kita seharusnya ingat masa lalu dan memperbaiki masa depan.
Jenang timbul mempunyai makna harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Manusia harus ingat Allah dan selalu berdoa untuk mewujudkan harapannya menjadi kenyataan, jenang grendul maknanya kehidupan itu seperti cakra penggilingan seperti roda yang berputar kadang di atas dan di bawah/naik-turun. Kita perlu menemukan kestabilan dari perbedaan yang terjadi dalam kehidupan.
Jenang sumsum maknanya pada diri manusia melekat sifat kelemahan dan kekuatan. Kekuatan pada diri manusia sebaiknya digunakan untuk nilai-nilai kebaikan, jenang lahan maknanya lepas dan hilang semua nafsu negatif, iri, dengki, sombong dan sebagainya dihadapan Allah, jenang pati maknanya melebur nafsu dan pasrah kepada Allah.
Jenang kolep maknanya manusia sebagai mahkluk sosial selalu dihadapkan pada perbedaan. Menghormati dan menghargai perbedaan dalam masyarakat yang plural dan multikultur menjadi nilai yang penting dalam kehidupan sehari-hari.
Jenang ngangrang mananya manusia seharusnya belajar mengontrol emosi kemarahannya, agar kekuatan pada dirinya bisa bermanfaat untuk sesama, jenang taming maknany abelajar menjaga kekuatan pada diri kita dengn berdoa kepada Allah dan mengenali serta memahami kelemahan diri sendiri.
Jenang lemu mawi sambel goreng maknanya tak lemah membangun semangat baru dalam kehidupan, jenang koloh maknanya kesempurnaan adalah tujuan hakiki kehidupan manusia, yang sering dilalaikan dalam kesibukan sehari-hari. Kita perlu terus berproses menuju kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.
Jenang katul maknanya kita hidup tak bisa berdiri sendiri, selalu membutuhkan orang lain, jenang warni empat maknanya simbul nafsu yang melekat pada diri manusia. Warna merah simbol amarah. Putih menyimbolkan Muthamainah, kuning artinya aluamah dan hijau maknanya sufiyah (nafsu yang selalu ingin memiliki duniawi. Kita dituntut mengendalikan keempat jenis nafsu yang melekat pada diri kita.
Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo mengatakan sebanyak 17 macam jenang yang ada pada fesrtival jenang dalam rangka memperingati hari jadi kota Solo ke 269, mempunyai makna yang sangat bagus untuk diterapkan sehari-hari.
Festival jenang ini maka tidak hanya sekedar melestarikan jenang dan mengembangkan kuliner untuk menggerakan perekonomian, tetapi juga mendidik bangsa ini untuk hidup yang lebih baik lagi.
Festival jenang tersebut telah membagikan sebanyak 17.000 takir jenang dari 17 jenis jenang secara cuma-cuma kepada para pengunjung yang ada di Koridor Ngarsopuro Solo, Minggu.
17 Jenang Dalam Tradisi Masyarakat Jawa
Minggu, 23 Februari 2014 14:14 WIB
semua ritual selamatan tak pernah lepas dari keberadaan jenang (bubur)