Pontianak (Antara Kalbar) - Membangun "power sharing" atau pembagian kekuasaan menjadi kunci yang harus diterapkan dalam persamaan gender antara perempuan dan laki-laki, kata Direktur Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Borneo, Reny Hidjazie di Pontianak.
"Ini menjadi tantangan masyarakat, khususnya media massa agar bisa merekonstruksi ulang tentang perempuan itu lemah, cengeng, dan steroetip lain yang dikaitkan dengan kodrat perempuan," kata Reny Hidjazie dalam diskusi kerja sama Jurnalis Perempuan Khatulistiwa dengan Kinerja USAID di aula Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kalbar di Pontianak, Senin.
"Masyarakat dan institusi diharapkan mampu mengubah pola pikir dan fokus kegiatannya untuk mendukung kesetaraan serta keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan," kata aktivis perempuan itu.
Menurut dia, yang membedakan antara perempuan dan laki-laki itu hanya pada jenis kelamin (seks) saja. Di luar itu keduanya memiliki hak, kewajiban dan tugas yang sama.
Menurut dia lagi, ada tiga persoalan besar yang melingkupi kaum perempuan. Pertama, kemiskinan. Terlahir dalam keluarga miskin menyebabkan perempuan tidak punya banyak pilihan dalam kehidupannya. Tidak bisa bersekolah dan tidak bisa bekerja. Kemiskinan secara turun-temurun dan harus menerima untuk menikah muda.
Kedua, kekerasan fisik, psikis maupun ekonomis yang diterima oleh perempuan, mulai dari pemukulan hingga dipaksa menjadi pengemis. "Soal yang ketiga adalah beban ganda luar biasa yang diberikan kepada perempuan, dimana mereka harus bertanggung jawab pada kehidupan domestik maupun publik, anak-anak dan rumah tangganya," kata aktivis perempuan itu.
Setinggi apapun dia berkarir, lanjut dia, perempuan masih harus dibebani pekerjaan rumah tangga. Seorang perempuan memiliki beban ganda dalam perannya di domestik rumah tangga dan publik. "Ini sudah turun-temurun karena dampak dari konstruksi yang terus-menerus. Sulit untuk keluar dari cangkang yang telah terbangun lama," katanya lagi.
Karena itu, harus ada proses perubahan dan perjuangan terus-menerus untuk keadilan dan kesetaraan gender yang diidamkan. "Keadilan disini adalah terwujudnya relasi gender yang adil antara perempuan dan laki-laki di masyarakat yang dicirikan oleh dihapuskannya kekerasan (fisik, psikis dan seksual), sub-ordinasi (bidang politik, budaya dan sosial), marjinalisasi (peminggiran dan pemiskinan secara ekonomis), beban berlebihan/ganda, dan pelabelan / stereotype," jelas Reny mengutip cetak biru Rencana Aksi Nasional untuk Pemberdayaan Perempuan, Januari 2000.
Sementara untuk kesetaraan gender, menurut dia, adanya persamaan kedudukan perempuan dan laki-laki di muka hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Hak-hak perempuan dijamin dan setara dengan laki-laki tanpa mempersoalkan gendernya.
"Terwujudnya relasi gender ini dicirikan dengan terhapusnya kekerasan, negara makmur sejahtera dan damai. Selain itu terciptanya keluarga harmonis, saling menghargai, menghormati serta berbagi peran," kata dia lagi.
Reny menambahkan, data yang dimiliki Perempuan Kepala Rumah Tangga (Pekka), ada 20 persen dari kepala rumah tangga di Indonesia adalah para perempuan.
"Sayangnya di Undang-undang Perkawinan itu tidak ada celah kepala keluarga adalah perempuan. Tercantum pemberi nafkah adalah lelaki dan perempuan hanya kerja sampingan atau tambahan," katanya.
Begitupun ketika perempuan menjadi korban perkosaan, gender dilekatkan pada perempuan dan tidak menjadi setara pada proses hukum. Pelakunya bisa cepat melenggang bebas setelah menjalani hukuman yang terkadang tak setimpal dengan perbuatannya.
"Pelakunya setelah dipidana sudah selesai menerima hukumannya, namun perempuan harus menanggung beban derita dan traumanya seumur hidup," ujarnya.
Reny juga menyoroti minimnya alokasi anggaran untuk perempuan, semisal anggaran masyarakat miskin dan posyandu. "Angka kematian ibu cukup tinggi, jadi idealnya anggarannya itu harus melebihi dari 50 persen karena perempuanlah yang mengurus kelahiran dan kelangsungan hidup generasi penerus di muka bumi ini," katanya mengingatkan.
Dia mengatakan, bila dahulu perempuan hanya dijadikan sebagai objek pembangunan, namun kini dikembangkan "empowerment" atau pemberdayaan yang mengarah pada pengarusutamaan gender yang banyak digaungkan oleh para aktivis perempuan.
"Contohnya, perempuan berpartisipasi dalam pembangunan, diberikan hak bersuara dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Mereka bukan lagi semata objek, tapi sudah menjadi subjek yang ikut dalam perencanaan pembangunan serta melakukan pengontrolan terhadap kebijakan yang berlangsung," kata Direktur PPSW Borneo itu.
Gerakan perempuan ini jugalah yang menurut Reny, sedang dibangun PPSW Borneo. Dimana harapannya adalah tercipta Indonesia yang bersih dari korupsi, bebas kemiskinan, bebas dari segala bentuk kekerasan dan rasa takut untuk mencapai keadilan dan kedaulatan bagi rakyat miskin, perempuan dan kelompok marjinal.
Reny sendiri mengapresiasi bahwa sekarang ini di alam demokrasi Indonesia, gerakan perempuan sudah jauh lebih baik. Terlihat dari pendampingan yang dilakukan PPSW di kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap partisipasi perempuan aktif dalam memperoleh informasi, akses dan kontrol serta pelibatan aktif dan mengusulkan kegiatan berdasarkan kebutuhan melalui proses perencanaan pembangunan terkait pelayanan publik di wilayah mereka.
"Mereka yang kita dampingi, sudah mulai mau terlibat dalam berbagai kegiatan yang dahulu hanya diisi oleh kaum pria saja. Mereka juga kini lebih aktif dalam memberikan masukan serta menyuarakan hak-hak perempuan. Salah satunya terlibat dalam Musrenbang, di tingkat kelurahan hingga tingkat kota," jelasnya.
Menurut Reny, kini sudah banyak kran yang dibuka, tinggal bagaimana memanfaatkan situasi dan memperkuat "power" dalam keterlibatan. Diharapkan para perempuan akan menjadi agen perubahan.
"Kesadaran kritis inilah yang berusaha kita bangun. Bahwa laki-laki dan perempuan sebagai warga masyarakat punya hak dan kewajiban setara 'power sharing' sesuai kemampuan dan kondisi, bukan kepada siapa yang paling kuat dan berkuasa," kata aktivis perempuan tersebut.
(N005)
LSM : Kesetaraan Gender Melalui Pembagian Kekuasaan
Selasa, 29 April 2014 0:24 WIB
Masyarakat dan institusi diharapkan mampu mengubah pola pikir dan fokus kegiatannya untuk mendukung kesetaraan serta keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan.