Jakarta (Antara Kalbar) - Konflik akibat pendirian rumah ibadah masih kerap terjadi di Indonesia. Kesulitan mendirikan rumah ibadah tak hanya dialami satu agama saja. Hampir seluruh agama di Indonesia pernah mengalami sulitnya mendirikan rumah ibadah.
Biasanya, persoalan yang muncul dalam sulitnya pendirian rumah ibadah adalah masalah penerimaan masyarakat di sekitar rumah ibadah. Bila mayoritas warga di sekitar rumah ibadah beragama yang sama dengan jamaah rumah ibadah itu, pendiriannya tak akan terlalu sulit.
Namun bila jamaah rumah ibadah itu beragama minoritas dengan masyarakat sekitar, pendirian rumah ibadah bisa lebih sulit.
Konflik akibat pendirian rumah ibadah kerap kali berujung pada kekerasan, penyerangan dan penyegelan rumah ibadah oleh masyarakat sekitar atau aparat setempat.
Peristiwa yang masih hangat terjadi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Hanya berselisih dua hari, terjadi penyerangan terhadap jamaah yang sedang beribadah doa rosario di sebuah rumah di Ngaglik dan sebuah gereja di Pangukan.
Menurut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah, mendirikan rumah ibadah memang harus memenuhi persyaratan administrasi dan teknis bangunan gedung serta beberapa persyaratan khusus.
Dalam Pasal 14 peraturan itu disebutkan pendirian rumah ibadah harus menyertakan daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang, adanya dukungan dari masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan lurah/kepala desa, serta mendapatkan rekomendasi tertulis dari kantor departemen agama kabupaten/kota dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota.
Selain rumah ibadah, regulasi itu juga mengatur tentang pemanfaatan bangunan bukan rumah ibadah sebagai rumah ibadah sementara. Pasal 18 peraturan itu menyebutkan pemanfaatan sementara bangunan sebagai rumah ibadah harus mendapatkan izin dari bupati/wali kota.
Izin dari bupati/wali kota dapat dikeluarkan bila memenuhi persyaratan laik fungsi dan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat meliputi izin tertulis pemilik bangunan, rekomendasi tertulis lurah/kepala desa, pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota dan kantor departemen agama kabupaten/kota.
Multitafsir
Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'thi menilai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah multitafsir, sehingga berpotensi menimbulkan kekerasan antarumat beragama.
"Yang diatur dalam peraturan itu hanya masalah kerukunan umat beragama dan tempat ibadah. Soal kegiatan ibadah tidak diatur sehingga peraturan itu menjadi multitafsir dan bisa menimbulkan kesalahpahaman," kata Abdul Mu'thi.
Mu'thi mengatakan selama ini masyarakat memahami tempat ibadah sebagai bangunan untuk beribadah seperti masjid untuk agama Islam, gereja untuk Kristiani dan Katolik, pura untuk Hindu dan wihara untuk Buddha.
Namun, kata Mu'thi, setiap agama ternyata memiliki istilah yang berbeda satu sama lain terkait dengan pelaksanaan ibadahnya. Gereja misalnya, bagi umat Kristiani dan Katolik tidak hanya sebatas bangunan gerejanya saja.
"Bagi mereka, ibadah berkelompok yang dipimpin oleh seorang rohaniwan adalah gereja, sementara orang awam di luar agama itu hanya memahami gereja adalah bangunan tempat ibadah," tuturnya.
Perbedaan pemahaman dan tafsir itu, kata Mu'thi, seringkali menjadi pemicu kekerasan agama. Namun apa pun alasannya, penyerangan terhadap tempat ibadah oleh siapa pun dan kepada siapa pun adalah perbuatan melanggar hukum.
"Karena Indonesia adalah negara hukum, siapa pun yang melanggar hukum harus ditindak," ujarnya.
Intoleransi
Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Slamet Effendi Yusuf mengatakan masyarakat jangan memberikan toleransi kepada tindakan intoleransi seperti yang terjadi dalam dua kasus penyerangan di Sleman.
"Islam menghormati umat agama lain, terutama yang sedang beribadah. Karena itu, umat Islam tidak akan menyerang umat agama lain apalagi yang sedang beribadah," kata Slamet Effendi Yusuf.
Slamet menyayangkan adanya penyerangan terhadap umat Katolik yang sedang melakukan ibadat rosario di Sleman. Karena itu, dia mendesak Polri untuk mengusut kasus itu secara tuntas.
Supaya kejadian serupa tidak terulang, Slamet juga mendorong FKUB yang ada di setiap daerah untuk proaktif. Dia juga mendorong FKUB DIY untuk berperan aktif, sehingga persoalan kasus tersebut menjadi jelas.
"Soal kerukunan umat beragama dan rumah ibadah sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Itu sebenarnya kesepakatan semua majelis agama yang kemudian dituangkan sebagai peraturan," tuturnya.
Slamet juga mengimbau kepada masyarakat supaya mematuhi aturan pendirian rumah ibadah sebagaimana diatur dalam peraturan itu. Menurut dia, ibadah bersama di rumah boleh dilakukan sepanjang itu insidental.
"Kalau mendatangkan jamaah yang banyak dan dilakukan rutin terus menerus, tentu harus di rumah ibadah. Kalau seperti tahlilan atau doa rosario memperingati kenaikan Isa Almasih yang insidental, bisa dilakukan di rumah," ucapnya.
Karena itu, dia mendorong Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus yang rumahnya di Sleman diserang sekelompok orang beberapa waktu lalu agar mengurus perizinan rumah ibadah sesuai aturan apabila rutin menggelar ibadah.
"Mungkin saudara Julius ingin mewakafkan rumahnya untuk menjadi gereja. Kalau rutin mengadakan ibadah dengan jamaah yang banyak, tentu juga harus sesuai aturan," tuturnya.
Intelijen Kurang Maksimal
Sementara itu, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan intelijen Polri tidak maksimal mengantisipasi radikalisme sehingga dua penyerangan di Sleman bisa terjadi.
"Polri memiliki intelijen dan bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat atau babinkamtibmas hingga tingkat kecamatan. Namun, intelijen dan babinkamtibmas itu seperti antara ada dan tiada," kata Neta S Pane.
Menurut Neta, aktivitas ibadah di rumah tidak bisa dihindari. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah menyatakan rumah dapat digunakan sebagai tempat ibadah keluarga.
"Selama ini umat Muslim juga menjadikan rumah sebagai tempat ibadah, pengajian, zikir dan kegiatan majelis taklim lainnya dan tidak ada masalah," katanya.
Neta mengatakan seharusnya intelijen dan babinkamtibmas polri bisa mengantisipasi dan mengetahui potensi radikalisme yang ada di wilayahnya masing-masing.
Khusus di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Neta mengatakan ada beberapa tokoh radikal eks kerusuhan Poso yang saat ini tinggal di wilayah tersebut.
"Lima hari terakhir kami melakukan investigasi di Yogyakarta. Banyak tokoh radikal eks kerusuhan Poso yang bebas berkeliaran dan tidak terdeteksi. Selain peran intelijen dan babinkamtibmas, perlu juga kepedulian dari Kapolsek, Kapolda hingga Kapolri," tuturnya.
Namun, Neta mengatakan tak selamanya penyerangan terhadap rumah ibadah terjadi karena adanya sentimen terhadap suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Neta mengatakan ada beberapa pihak yang sengaja melakukan provokasi agar diserang pihak lain untuk mendapatkan bantuan dana dari pihak asing.
"Motif kasus penyerangan di beberapa daerah berbagai macam. Ada yang memang karena sentimen suku, agama , ras dan antargolongan atau SARA, sentimen politik atau sengaja agar diserang untuk motif bisnis," katanya.
Menurut Neta, ada beberapa pihak yang sengaja melakukan provokasi atau memanfaatkan situasi yang sedang memanas supaya diserang oleh pihak lainnya. Serangan yang terjadi, kemudian dimanfaatkan sebagai dalih supaya menerima bantuan dari pihak asing.
Neta mengatakan kasus penyerangan terhadap rumah Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus di Sleman, Yogyakarta sama sekali bukan bermotif sentimen agama.
Neta menduga penyerangan itu justru bermotif politik sebagai imbas dinamika politik menjelang Pemilu Presiden 2014. Sangat mungkin antara pihak yang diserang dan menyerang mendukung pihak yang berbeda.
"Kalau motifnya sentimen agama, Julius sudah mengadakan doa rosario di rumahnya selama dua tahun belakangan. Mengapa baru diserang kemarin? IPW menduga motifnya lebih ke politik," tuturnya.
Terlepas dari motif penyerangan di Sleman, Neta mendesak Polri untuk segera menangkap delapan orang lainnya yang diduga menjadi pelaku penyerangan itu. Saat ini, polisi baru menangkap satu orang.
"Investigasi IPW selama lima hari di Yogyakarta, kami menemukan bahwa intelijen Polri sudah mendeteksi dan mengepung tempat persembunyian delapan orang itu yang berada dua kilometer dari rumah Julius. Penangkapan hanya menunggu perintah Kapolda atau Kapolri," katanya.
Jangan Toleransi Terhadap Radikalisme Atas Nama Agama
Senin, 9 Juni 2014 10:35 WIB
Lima hari terakhir kami melakukan investigasi di Yogyakarta. Banyak tokoh radikal eks kerusuhan Poso yang bebas berkeliaran dan tidak terdeteksi.