Jakarta (Antara Kalbar) - Pengajar Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Yogi Suprayogi Sugandi, berpendapat deklarasi koalisi Merah Putih secara permanen dari partai pendukung capres-cawapres, Prabowo-Hatta, akan terancam perpecahan internal.
Bahkan bila Prabowo terpilih menjadi Presiden RI akan tersandera dengan sendirinya oleh berbagai kepentingan internal partai, kata Yogi dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa.
"Ada dua kutub yang melatar belakanginya, yakni koalisi Merah dan koalisi Putih. Koalisi Merah yang didukung oleh partai-partai nasionalis seperti Gerindra, Demokrat, Golkar akan berhadapan dengan koalisi putih yang dimotori oleh PAN, PPP dan PKS," ujar Yogi.
Kepentingan itu, lanjut dia, terutama dalam cara pandang menyelesaikan masalah nasional.
Menurut dia, isu nasionalisasi yang selalu digaungkan oleh capres nomor satu itu akan mendapatkan hambatan dari Demokrat terutama pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono tentang ketiadaan dukungannya terhadap capres yang akan menasionalisasi perusahaan asing di Indonesia.
Sementara itu, pengamat politik dari Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti, mengatakan, penandatanganan koalisi permanen merah putih itu merupakan langkah bagus untuk memulai tradisi koalisi parpol bersifat jangka panjang di Indonesia.
"Niatnya sudah tepat. Tapi, niat baik ini tanpa terlebih dahulu mengubah desain sistem kepartaian dan format pemilu, maka pada akhirnya hanya akan bagus di atas kertas," katanya.
Ujungnya, kata Ray, hanya menjadi pemanis politik dari pada benar-benar menjadi subtansi sistem kepartaian. Koalisi yang hanya diatur oleh internal mereka rawan terjadinya perpecahan.
Bahkan, jika hanya menyebut target-target makro seperti mempertahankan Pancasila, UUD 1945, dan sejenisnya, pada hakekatnya mempertemukan apa yang telah dipastikan harus bertemu.
"Yang jadi masalah, dan inilah yang selalu menjadi kendala bangunan koalisi di Indonesia, adalah jika menyentuh isu-isu turunan, format fraksi di DPR, serta mekanisme penentuan capres dan cawapresnya. Apakah misalnya koalisi akan memilih bersikap diam atas kasus lumpur Lapindo, penyelesaian kasus Bank Century, mengembalikan UUD kepada UUD 1945 tanpa amandemen, termasuk di dalamnya menghadapi isu-isu kenegaraan di masa depan," kata Ray.
Menurut dia, pada wilayah itu terdapat perbedaan mencolok di antara berbagai partai. Jika hanya bertemu pada isu-isu besar, koalisi sudah pasti akan terjadi. Bahkan semua partai wajib sama-sama berkoalisi untuk isu-su besar.
Oleh karena itu, koalisi atas dasar yang sudah ditetapkan konstitusi sifatnya menjadi wajib bagi semua parpol. Dan tentu saja tantangan terbesar partai ini adalah mekanisme menentukan capres mereka pada pilpres berikutnya.
"Jika koalisi Merah Putih tak berbicara sedetail ini, dapat disebut koalisi ini hanyalah reaksi sesaat. Kepentingnnya untuk mengikat parpol agar tak 'lari' sendiri-sendiri mencari teman koalisi. Apalagi santer terdengar, partai Golkar, PPP dan Demokrat mulai melirik teman partai lain," ujarnya.
Dengan demikian, Gerindra, PAN, dan PKS tidak akan ditinggal sendiri. Tiga partai itu melangkah cepat untuk mengikat Golkar, PPP dan Demokrat yang memang terlihat gagap menghadapi perkembangan politik.
"Selama koalisi ini tak diupayakan untuk diikat secara konstitusional, seperti mengikatnya ke KPU, nasib koalisi nampaknya akan berumur pendek dan tentu saja tidak parmanen," ucap Ray.
Koalisi Permanen Merah Putih Terancam Polarisasi Kepentingan
Selasa, 15 Juli 2014 14:48 WIB