Pontianak (ANTARA) -
Perekonomian makro ekonomi Indonesia industri minyak kelapa sawit memiliki peran strategis, antara lain penghasil devisa terbesar, lokomotif perekonomian nasional, kedaulatan energi, pendorong sektor ekonomi kerakyatan, dan penyerapan tenaga kerja. Perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang cepat serta mencerminkan adanya revolusi perkebunan sawit.
Perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang di 22 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Dua pulau utama sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Sumatra dan Kalimantan.
Sekitar 90% perkebunan kelapa sawit di Indonesia berada di kedua pulau sawit tersebut, dan kedua pulau itu menghasilkan 95% produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia.
Dalam kurun 1990–2015, terjadi revolusi pengusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yang ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya perkebunan rakyat dengan cepat, yakni 24% per tahun selama 1990–2015. Pada 2015, luas perkebunan sawit Indonesia adalah 11,3 juta ha (Kementerian Pertanian, 2015), dan pada 2017 mencapai 16 juta ha.
Saat ini, proporsi terbesar adalah perkebunan rakyat sebesar 53%, diikuti perkebunan swasta 42%, dan perkebunan negara 5%. Pada 2017, produksi CPO Indonesia diprediksi mencapai 42 juta ton.
Perkembangan industri minyak sawit Indonesia yang berkembang cepat tersebut telah menarik perhatian masyarakat dunia, khususnya produsen minyak nabati utama dunia. Indonesia menjadi negara produsen minyak sawit terbesar dunia sejak 2006. Pada 2016, Indonesia berhasil mengungguli Malaysia. Share produksi CPO Indonesia telah mencapai 53,4% dari total CPO dunia, sedangkan Malaysia memiliki pangsa sebesar 32%.
Demikian halnya dalam pasar minyak nabati global, minyak sawit juga berhasil mengungguli minyak kedelai (soybean oil) sejak 2004. Pada 2004, total produksi CPO mencapai 33,6 juta ton, sedangkan minyak kedelai adalah 32,4 juta ton. Pada 2016, share produksi CPO dunia mencapai 40% dari total nabati utama dunia, sedangkan minyak kedelai memiliki pangsa sebesar 33,18% (United States Department of Agriculture, 2016).
Peningkatan cepat pangsa minyak sawit dalam pasar minyak nabati dunia telah memengaruhi dinamika persaingan antarminyak nabati masuk bentuk kampanye negative atau hitam terhadap minyak sawit. Selain itu, aspek keberlanjutan (sustainability) perkebunan kelapa sawit mendapat sorotan.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dipersepsikan tidak berkelanjutan (unsustainable) serta dituduh sebagai penyebab utama deforestasi dan hilangnya habitat satwa liar. Deforestasi merupakan hal yang normal dalam sejarah pembangunan sejumlah Negara besar di dunia, baik Amerika Serikat maupun Eropa.
Namun, isu deforestasi digunakan untuk menekan pertumbuhan perkebunan kelapa sawit Indonesia. Di samping itu, pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dipersepsikan tidak berkelanjutan (unsustainable) serta ekspansi perkebunan kelapa sawit dinilai menjadi pemicu utama (driver) deforestasi dan kerusakan hutan di Indonesia.
Pembangunan industri minyak kelapa sawit digadang-gadang sebagai pemain dibalik layar dalam pencapaian SDGs 2030 karena industri minyak kelapa sawit dengan isu yang beredar mampu menjawab tuduhan tersebut dengan melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit mengedepankan aspek berkelanjutan, yang menjadi salah satu cara bagi Indonesia, guna menghasilkan produksi CPO bagi pasar global. keberadaan pertumbuhan populasi penduduk di dunia, yang membutuhkan minyak nabati, bisa terpenuhi melalui produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan.
Pengelolaan perkebunan kelapa sawit Indonesia, selalu menerapkan prinsip dan kriteria CPO, yang mengacu kepada nilai-nilai sustainability universal. Pentingnya pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang sustainable, juga berlandaskan tujuan pembangunan berkelanjutan dunia (Sustainable Development Goals/SDGs) yang menjadi tujuan semua pembangunan di belahan dunia. Sebab itu, sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan dunia, perkebunan kelapa sawit harus dibangun sesuai dengan prinsip dan kriteria berkelanjutan secara universal. Lantaran, kelapa sawit sangat efisien menggunakan lahan dan dapat terus ditingkatkan produktivitasnya, melalui berbagai penelitian yang berguna di masa depan.
Tingginya kemampuan produktivitas dan rendemen minyak sawit yang dihasilkan, juga menjadi bagian dari keberhasilan pembangunan berkelanjutan yang dilakukan perkebunan kelapa sawit. Melalui produksi yang tinggi, maka kebutuhan lahan perkebunan juga sangat efisien dibandingkan dengan perkebunan minyak nabati lainnya.
Produktivitas minyak sawit, paling tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya. Kemampuan industri kelapa sawit juga bisa memberikan peluang usaha dan mata pencaharian sebagai petani kelapa sawit, yang berkontribusi langsung terhadap ekonomi masyarakat. indonesia dapat menunjukkan kepada dunia internasional.
Pesatnya perkembangan lahan sawit di tengah kontroversi yang muncul menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit berperan penting dalam perekonomian di Indonesia dan menjadi tumpuan hidup bagi sebagian rakyat. Perkembangan pesat kelapa sawit didukung oleh berbagai faktor, seperti kebijakan pemerintah yang menjadikan perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu sektor prioritas nasional. Selain itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) yang mendorong Seperti yang kita telah ketahui, kelapa sawit merupakan komoditas eskpor utama Indonesia.
Selain itu juga memiliki nilai strategis terhadap Negara dalam hal pemerataan pembangunan dan pengetasan kemiskinan, dengan kata lain industri perkebunan kelapa sawit merupakan sektor yang paling memenuhi kriteria Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau yang lebih dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs).
Industri kelapa sawit di Indonesia memiliki peranan yang sangat penting bagi perekonomian nasional. Tercatat total nilai ekspor produk sawit pada tahun 2017 sebesar Rp. 239 triliun yang merupakan terbesar dan lebih besar dari sektor minyak dan gas.
Dengan luas lahan yang mencapai jutaan hektar, industri kelapa sawit juga berkontribusi sebagai industri padat karya dengan menyerap 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung. Sebagai industri padat karya di negeri tercinta ini jelas industri kelapa sawit telah mampu mnyelesaikan beberapa masalah perekonomian negara. Seperti permasalahan kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kemitraan, air bersih, dan lain sebagainya dimana semua permasalahan tersebut termasuk kedalam 17 butir tujuan dari SDGs.
Penting bagi pemerintah Indonesia saat ini untuk melaksanakan SDGs agar tercapainya pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan supaya mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Agar dapat tercapainya hal tersebut, maka Kelapa sawit berkelanjutan merupakan penerapan dari konsep pertanian berkelanjutan, yaitu sistem pertanian yang berorientasi pada keseimbangan ekonomi, sosial, dan ekologi.
Tuntutan tersebut direspons melalui penerapan standar ISPO dan RSPO dalam perkebunan kelapa sawit. Namun, sejauh ini masih banyak perkebunan yang belum berkelanjutan sehingga dampak negatif dari perkebunan kelapa sawit masih dirasakan di berbagai daerah.
Bencana asap sebagai dampak kebakaran lahan di area perkebunan kelapa sawit, penggunaan pekerja anak, konflik lahan, dan rendahnya kesejahteraan tenaga kerja merupakan implikasi dari perkebunan yang tidak berkelanjutan.
Di tengah kontroversi yang muncul di masyarakat, perkebunan kelapa sawit masih terus berkembang di Indonesia. Pada 2016, diperkirakan luas lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 11,67 juta ha, yang terdiri atas perkebunan rakyat (41%), perkebunan negara (7%), dan perkebunan besar swasta (42%) (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015).
Oleh karena itu, sebagai bagian pertumbuhan ekonomi kelapa sawit dinilai sebagai pemain dibalik layar demi kemakmuran bangsa Indonesia, kelapa sawit berkontribusi untuk membantu pencapaian target SDGs di tahun 2030.Kelapa sawit dikatakan pemain dibalik dalam pencapaian SDGs yaitu karena adanya kaitan erat antara industri kelapa sawit dengan pencapaian SDGs Antara lain: berkontribusi dalam penurunan kemiskinan, berperan dalam penyerapan tenaga kerja,