Pontianak (ANTARA) - Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalimantan Barat (Kalbar), Hermanus, pihaknya menyatakan pentingnya kepatuhan perusahaan, khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit, terhadap norma ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja.
"Para pekerja di sektor ini memegang peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, sudah sepatutnya hak-hak mereka dilindungi dan dipenuhi oleh perusahaan," kata Hermanus dalam dialog di RRI, di Pontianak, Selasa.
Menurut Hermanus, Kalbar merupakan provinsi penghasil crude palm oil (CPO) terbesar kedua di Indonesia. Saat ini terdapat 438 unit perusahaan perkebunan sawit yang tersebar di 12 kabupaten. Kota Pontianak dan Singkawang menjadi dua wilayah yang tidak memiliki areal perkebunan sawit.
Ia menyoroti sejumlah pelanggaran ketenagakerjaan yang masih ditemukan di lapangan, mulai dari jam kerja yang melebihi ketentuan, kurangnya waktu istirahat, hingga status hubungan kerja yang tidak sesuai aturan.
"Kami masih banyak menemukan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja tetap dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), padahal pekerjaan yang mereka lakukan bersifat rutin dan berkelanjutan. Ini bertentangan dengan ketentuan yang mewajibkan pekerja tetap mendapatkan status Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)," tuturnya.
Hermanus juga menegaskan bahwa banyak perusahaan belum optimal dalam menerapkan prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), seperti kewajiban menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) dan membentuk panitia K3 (P2K3).
"Ini bukan hanya soal kepatuhan administratif, tetapi soal keselamatan dan kesejahteraan pekerja. Oleh sebab itu, pengawasan ketenagakerjaan terus kami lakukan untuk memastikan perusahaan menjalankan kewajibannya," katanya.
Untuk itu, pihaknya akan terus melakukan pembinaan edukatif maupun non-justisia serta langkah represif agar perusahaan patuh terhadap norma ketenagakerjaan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Integritas Justitia Madani Indonesia (IJMI), Try Harysantoso menyatakan bahwa Kalimantan Barat memiliki potensi besar untuk menjadi penggerak ekonomi melalui kelapa sawit, tetapi harus dibarengi dengan komitmen kuat dalam menjamin hak dasar para pekerja.
"Kalimantan Barat, sebagai salah satu sentra kelapa sawit nasional, menghadapi tantangan serius dalam upaya perlindungan hak-hak pekerja di sektor ini. Di balik geliat ekonomi yang ditopang oleh ekspor sawit, praktik eksploitasi dan kerja paksa masih menjadi bayang-bayang yang mengancam kesejahteraan buruh sawit," kata Try di Pontianak, Selasa.
Dia menjelaskan, secara nasional, Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 46,5 juta metrik ton pada 2024, atau sekitar 58 persen dari total produksi global.
"Pada 2023, kontribusi industri sawit terhadap APBN mencapai Rp88 triliun yang terdiri dari penerimaan sektor perpajakan Rp50,2 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp32,4 triliun, serta bea keluar Rp6,1 triliun," tuturnya.
Mengerucut ke Kalimantan Barat, provinsi ini menjadi lokomotif sawit dengan luas lahan mendekati 1,5 juta hektare, menyerap jutaan tenaga kerja, dan memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian. Namun, praktik kerja yang melanggar norma ketenagakerjaan masih menjadi persoalan mendasar.
"Upah layak, jam kerja wajar, akses layanan kesehatan dan keselamatan kerja, serta kesempatan menyampaikan aspirasi secara aman harus dijamin dalam kontrak kerja yang sah," katanya.
Try menambahkan, berdasarkan laporan Global Slavery Index 2023 bahkan menempatkan Indonesia di peringkat ke-10 dunia dengan lebih dari 1,8 juta orang terjebak dalam perbudakan modern, termasuk sektor sawit. Di Kalimantan Barat, bentuk eksploitasi paling banyak ditemukan pada pekerja berstatus Buruh Harian Lepas (BHL), yang tidak memiliki jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, hingga tidak berhak atas THR dan pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Lembaga Teraju Indonesia, Agus Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo, mengungkapkan bahwa banyak perusahaan sawit mengabaikan aspek keselamatan kerja. Pekerja sering dipaksa membayar sendiri alat pelindung diri (APD) dan bekerja dalam kondisi tanpa pemeriksaan kesehatan rutin, meski sering bersentuhan langsung dengan bahan kimia berbahaya.
"Pekerja perempuan lebih rentan karena kerap mendapat perlakuan diskriminatif, bahkan mengalami pelecehan seksual dan diancam PHK saat mencoba melapor," katanya.