Pontianak (ANTARA) - Direktur Eksekutif Link-AR Borneo, Ahmad Syukri, menegaskan industri sawit di Kalimantan Barat berkembang secara masif namun tidak disertai dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar buruh yang layak, sehingga ekspansi itu justru memperburuk nasib sosial buruh.
"Ekspansi besar-besaran industri sawit justru memperparah kondisi sosial para buruh. Mereka masih bergulat dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang tidak manusiawi, upah minimum sektoral yang rendah, serta target kerja yang berat dengan ancaman potongan upah yang tidak masuk akal," kata Syukri di Pontianak, Jumat.
Menurut Syukri, kondisi ini mencerminkan bentuk ketidakadilan struktural dalam industri perkebunan yang selama ini lebih mengutamakan kepentingan korporasi besar dibanding kesejahteraan tenaga kerjanya.
"Banyak buruh bekerja lebih dari delapan bahkan sepuluh tahun, namun tetap berstatus harian lepas. Mereka tidak memiliki jaminan sosial, tidak dilindungi serikat buruh, dan terus-menerus berada dalam ketidakpastian kerja," tuturnya.
Syukri juga menyoroti bahwa perusahaan-perusahaan besar telah menguasai jutaan hektare lahan di Kalbar. Luas perkebunan sawit di provinsi ini tercatat mencapai 4,36 juta hektare dan diproyeksikan meningkat menjadi lebih dari 5 juta hektare.
Lebih lanjut, ekspansi perkebunan sawit tidak hanya berdampak pada aspek sosial, tetapi juga menimbulkan krisis ekologis dan konflik agraria.
"Perampasan tanah masyarakat adat dan petani semakin meluas. Deforestasi, banjir, dan konflik manusia-satwa menjadi konsekuensi dari industri yang rakus akan lahan," katanya.
Pada momentum perayaan Hari Buruh Sedunia 2025, Link-AR Borneo mendesak kepada Pemerintah Indonesia, di semua tingkatan untuk mengambil kebijakan perlindungan buruh perkebunan sawit, antara lain :
1) Menaikkan upah buruh kebun/buruh tani berdasarkan waktu kerja (upah satu hari kerja) dan penghapusan diskriminasi upah berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Pada saat yang bersamaan, juga menuntut kenaikan berbagai jenis premi, dan bonus target kerja
2) Penghapusan target kerja atau penurunan target kerja (produksi), dan penghapusan berbagai bentuk potongan-potongan, sanksi yang memberatkan
3) Penghapusan sistem fleksibilitas perburuhan (outsourcing dan kontrak) yang menimbulkan ketidakpastian kerja dan hilangnya upah yang seharusnya diterima, seperti buruh harian lepas dan kerja borongan, serta perbaikan kondisi kerja (K3) dan pemenuhan jaminan sosial yang memadai. Pada saat yang bersamaan, juga meningkatkan/mengubah status Buruh Harian Lepas/Borongan (KHL) menjadi Buruh Harian Tetap (KHT).
4) Melakukan perbaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit secara terus menerus dan penetapan harga dasar TBS Sawit yang adil dan menguntungkan. Tuntutan ini, untuk menjamin perbaikan upah dan kondisi kerja. Pada saat yang bersamaan, juga menghapuskan berbagai bentuk kecurangan dalam timbangan buah sawit, dan penetapan secara transparan standar berat janjang rata-rata yang sesungguhnya (BJR), serta perbaikan penghitungan skala harga TBS Sawit berdasarkan tahun tanam maupun musim panen (sepi buah dan banyak buah).
5) Mencabut kebijakan Sawit Fund yang lebih menguntungkan pemilik perusahaan perkebunan sawit. Dan mendistribusikan dana sawit fund tersebut untuk memperbaiki kondisi buruh perkebunan sawit, petani plasma dan petani mandiri (petani perseorangan sawit skala kecil) serta mencabut kebijakan subsidi dan/atau pengurangan pajak dalam berbagai bentuknya kepada pemilik perkebunan/pertanian sawit skala besar.
6) Mencabut berbagai peraturan perundang-undangan perburuhan, seperti UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja, serta berbagai kebijakan perkebunan sawit yang merugikan buruh perkebunan, petani plasma dan petani mandiri (petani perseorangan sawit skala kecil).
7) Mengajukan kepada Pemerintah RI untuk menetapkan kebijakan perlindungan buruh sawit dalam bentuk Undang-Undang Perlindungan Buruh Sawit
8) Mendesak agar Pemerintah RI mengkaji ulang (review) terhadap semua jenis Perizinan Berusaha di sektor perkebunan dan kehutanan, serta mencabut izin berusaha perusahaan yang terbukti melanggar prinsip-prinsip pengelolaan hutan dan perkebunan secara lestari dan adil.
9) Mendesak agar Pemerintah RI menetapkan kebijakan moratorium pemberian perijinan berusaha di sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan yang terbukti telah menghilangkan hak rakyat atas tanah dan sumber daya alam, serta meningkatkan laju deforestasi dan degradasi lahan, menghancurkan kawasan gambut, dan mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi ekosistem hutan dan habitatnya, serta krisis lingkungan yang merusak, seperti bencana banjir dan tanah longsor.
Syukri menegaskan bahwa negara tidak boleh membiarkan buruh sawit terus menjadi korban ketimpangan dalam industri yang justru menopang ekonomi nasional.
"Kalau negara ingin industri sawit berkelanjutan, maka kesejahteraan buruh harus menjadi fondasi utama. Buruh bukan mesin, mereka manusia," katanya.