Pontianak (ANTARA) - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kalimantan Barat menyoroti sejumlah persoalan mendasar dalam pembangunan daerah, meskipun capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar menunjukkan tren positif dalam dua tahun terakhir.
"IPM merupakan indikator utama dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat karena mencakup tiga sektor strategis: pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. IPM Kalbar memang naik dari sekitar 68 pada 2022 menjadi 71,19 pada 2024, tapi kita tidak boleh cepat puas," kata Ketua Koordinator BEM Kalbar Sheer Khan saat berdialog dengan Gubernur Kalbar, Ria Norsan di kantor Gubernur Kalbar, di Pontianak, Kamis.
Menurutnya, dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang sangat besar, seharusnya Kalbar bisa mencapai lebih dari itu.
Ia menyoroti bahwa kekayaan alam Kalimantan Barat seperti emas, bauksit, dan perkebunan sawit belum sepenuhnya memberikan dampak langsung terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat.
"Masih banyak warga yang bergantung pada sektor pendidikan informal, seperti menjadi guru honorer. Sementara sektor pertanian dan perkebunan belum digarap secara optimal, apalagi dengan pendekatan berbasis kearifan lokal," tuturnya.
Sheer Khan juga menyinggung ketimpangan yang masih nyata dalam sektor pendidikan. Ia menyebutkan berbagai hambatan geografis dan minimnya infrastruktur pendidikan di wilayah pedalaman.
"Di Desa Kuala Mandor A, sekolah dasar tak memiliki perpustakaan karena bangunannya roboh akibat angin kencang. Di sana juga kekurangan guru, dan yang mengajar pun bukan ASN, tapi warga yang secara sukarela membantu," katanya.
Rata-rata lama sekolah di Kalbar yang masih di angka 7,78 tahun, menurutnya, menunjukkan bahwa sebagian besar warga hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP kelas dua.
"Kondisi ini diperparah dengan ketimpangan kualitas tenaga pendidik. Di kota mungkin sudah cukup baik, tapi di pedalaman seperti Dusun Jelau, kenyataannya masih jauh dari ideal," katanya.
Dalam bidang kesehatan dan sanitasi, Sheer menyoroti kesenjangan akses air bersih di sejumlah wilayah yang tidak jauh dari ibu kota provinsi. “Bayangkan, hanya satu jam dari pusat kota Pontianak, masyarakat di Kuala Mandor A masih menggunakan air parit sawit untuk mandi. Ini berisiko menimbulkan penyakit kulit dan gangguan kesehatan lainnya,” ucapnya.
Sheer juga mengingatkan bahwa tantangan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Kalbar pada 2024 tercatat sebesar 4,88 persen, sedikit di atas rata-rata nasional.
"Kondisi ini berdampak langsung pada tingginya angka kemiskinan dan memperlebar jurang ketimpangan ekonomi antar keluarga," kata dia.
Meski demikian, pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah provinsi dalam menargetkan pengentasan kemiskinan ekstrem pada 2025.
"Kemiskinan ekstrem itu bukan sekadar tidak cukup makan, tapi benar-benar hidup tanpa kepastian, bahkan untuk kebutuhan dua jam ke depan. Mereka tidak memiliki aset sama sekali. Saat ini, masih ada sekitar 1.900 warga Kalbar yang masuk dalam kategori tersebut," katanya.
BEM Kalbar mendorong kolaborasi nyata antara pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil dalam merumuskan kebijakan pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan.