Ketapang (ANTARA) - Masyarakat Desa Sei Awan Kiri Kecamatan Muara Pawan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat meminta pemerintah mencabut izin PT Mohairson Pawan Khatulistiwa (Mopakha), perusahaan pemegang izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dari Kementerian Kehutanan.
"Kami minta pemerintah mencabut izin PT Mohairson Pawan Khatulistiwa yang beroperasi sejak 2016 dan sekarang sudah dialihkan ke PT Inti Alam Raharja sebagai induk perusahaan," kata Kepala Desa Sei Awan Kiri, Sapwan Noor di Ketapang, Rabu.
Ia menjelaskan, tuntutan dilatarbelakangi konflik berkepanjangan sejak 2016 hingga sekarang antara masyarakat dan perusahaan sebab masyarakat kecewa karena perusahaan tidak memenuhi kesepakatan yang telah dibuat bersama.
Penolakan masyarakat terhadap aktivitas perusahaan itu juga dilakukan dengan pemasangan baliho penolakan yang dipasang di beberapa titik Jalan Sei Awan Kiri.
Sapwan memaparkan beberapa kesepakatan warga dengan PT Mopakha yang belum kun jung direalisasikan antara lain penerapan pola kemitraan dengan masyarakat Desa Sungai Awan Kiri terhadap tanaman kemitraan kehutanan dan tanaman tumpang sari di areal tanaman kemitraan kehutanan dengan bagi hasil bersih 70 persen untuk pihak PT Mopakha dan 30 persen untuk seluruh masyarakat Desa Sungai Awan Kiri berdasarkan KK yang terdaftar di koperasi Desa Sungai Awan Kiri.
Berikutnya, PT Mopakha tetap pada perizinan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.216/Menhut-II/2008, apabila dalam pelaksanaan berjalan terjadi perubahan dari perizinan awal, maka PT Mopakha siap dituntut oleh masyarakat melalui jalur hukum. Kemudian, terkait tenaga kerja, PT Mopakha akan mengutamakan masyarakat desa setempat dan apabila ada tenaga kerja yang berhenti atau diberhentikan oleh perusahaan, akan mendahulukan masyarakat desa itu juga sebagai penggantinya.
Kesepakatan lainnya adalah bahwa dalam pembangunan kanal yang berda di wilayah Desa Sungai Awan Kiri, PT Mopakha akan memberikan tali asih sebesar Rp4 juta per hektar, dan akan mengganti tanam tumbuh yang sesuai dengan peraturan daerah Kabupaten Ketapang yang pembayarannya dilakukan melalui koperasi masyarakat kemitraan yang nantinya diperuntukkan bagi seluruh masyarakat desa sesuai dengan jumlah KK dan dipergunakan untuk lainnya sesuai dengan kesepakatan masyarakat.
Seluruhnya ada 14 poin kesepakatan antara warga dan perusahaan yang telah ditandatangani namun hingga kini tidak ada realisasinya. Karena itu, Sapwan berharap konflik ini cepat diselesaikan pemerintah dengan mencabut izin perusahaan tersebut.
"Izin perusahaan itu di atas 20 tahun dan itu waktu yang lama untuk masyarakat menjadi korban. Jadi kami minta pak Presiden, Prabowo dan Menteri Kehutanan RI," ucap Sapwan.
Ia juga meminta Gubernur Kalbar dan Bupati Ketapang agar mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan itu dan meminta agar diserahkan kepada masyarakat untuk mengelolanya agar berdampak langsung terhadap perekonomian masyarakat.
Tim Komunikasi Media PT Mohairson Pawan Khatulistiwa (Mopakha), Mayo mengatakan pihaknya menghormati keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi secara damai. Ia menjelaskan, perusahaan telah mengalami perubahan kepemilikan dan manajemen secara menyeluruh, seiring dengan komitmen baru untuk menjalankan usaha yang lebih inklusif dan berkelanjutan sejak 2019.

"Mopakha mendapatkan izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dengan skema multiusaha kehutanan melalui SK.960/MENLHK/SETJEN/HPL.2/9/2022 sesuai dengan kebijakan baru kehutanan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi," jelas Mayo.
Ia mengatakan dengan izin tersebut, Mopakha memiliki kekuatan hukum untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan yang baru yaitu, berfokus kepada kelestarian ekosistem hutan gambut dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya serta peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Ia menegaskan, meskipun saat ini Mopakha telah mengalami perubahan kepemilikan dan manajemen sejak 2019 tapi tidak mengabaikan berbagai dinamika masa lalu antara perusahaan dan masyarakat.
"Justru, kami memandang hal tersebut sebagai tanggung jawab moral yang tetap harus kami respon dengan pendekatan yang terbuka, konstruktif, dan berorientasi pada solusi," kata Mayo.
Ia memaparkan, sebagai wujud komitmen tersebut, Mopakha secara aktif menginisiasi dan mengikuti berbagai forum dialog dan mediasi di sejumlah desa sekitar, termasuk di Desa Sei Awan Kiri. Diantaranya silaturahmi manajemen baru ke desa-desa sekitar konsesi PBPH PT Mopakha. Silaturahmi di Sei Awan Kiri pada 25 Maret 2020 di Hotel Aston, Ketapang.
Kemudian mediasi dengan Desa Sei Awan KIri yang difasilitasi oleh mediator yang disepakati bersama yakni Rokhiman dan Rekan dari Yogyakarta pada 31 Agustus 2020 yang hasil
mediasinya berkekuatan hukum tetap. Melakukan sosialisasi program dan kegiatan Mopakha pada 24 Maret 2021, pertemuan merupakan tindak lanjut dari mediasi pada 31 Agustus 2020.
"Selanjutnya mediasi dengan Desa Sei Awan Kiri yang fasilitasi oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Ketapang pada 22 Juni 2022," tutur Mayo.
Ia menambahkan, Mopakha terus berusaha menjalankan berbagai kesepakatan lain dengan masyarakat dalam hal kegiatan yang lebih konkret terkait pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan ekosistem lahan gambut di dalam dan sekitar konsesi. Di antaranya program pemberdayaan masyarakat dan ekonomi lokal sejak 2020 hingga 2024. Lebih dari 450 masyarakat lokal telah mengikuti berbagai program pelatihan peningkatan kapasitas.