Yogyakarta (ANTARA) - Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP2K) Budiman Sudjatmiko menegaskan pentingnya konsolidasi seluruh elemen bangsa untuk mendukung Presiden Prabowo Subianto dalam menghadapi tantangan global yang kian kompleks.
Budiman yang juga Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP2K) pada diskusi dengan tema Jalan Kemakmuran Indonesia di Era Revolusi Industri 4.0. di Yogyakarta, Sabtu (31/5/2025) malam berpendapat energi bangsa harus difokuskan pada persaingan internasional, bukan lagi pada rivalitas politik domestik.
"Pak Prabowo butuh didukung. Pertama, oleh persatuan nasional dan kedua oleh seluruh elemen bangsa. Kita tidak perlu lagi bersaing di dalam negeri, karena kompetisi sebenarnya adalah kompetisi global," kata Budiman.
Ia menilai bahwa kompetisi politik dalam negeri seperti pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada bersifat periodik dan dapat dipulihkan dalam jangka waktu lima hingga sepuluh tahun, namun jika bangsa ini gagal dalam persaingan global, dampaknya bisa lebih permanen dan sulit untuk dipulihkan.
"Pak Prabowo sudah membuktikan, meskipun berkali-kali kalah sebagai calon presiden, beliau tetap bangkit dan akhirnya dipercaya rakyat. Tapi kalau kita kalah di kompetisi global, kita bisa benar-benar tertinggal," katanya.
Budiman menyoroti dinamika global, termasuk kebijakan proteksionis Amerika Serikat yang makin ketat terhadap pelajar asing serta perang dagang antarnegara besar.
Menurutnya, Indonesia harus merespons fenomena tersebut dengan meningkatkan kapasitas nasional, bukan terjebak dalam konflik internal.
“Amerika saja sedang sibuk menolong dirinya sendiri. Kalau kita terus bertengkar di dalam, kapan kita siap menghadapi ‘battle’ global? Perbedaan boleh, kritik boleh, demo juga wajar. Tapi kalau ada yang ingin menjatuhkan presiden atau wakil presiden, itu menciptakan instabilitas,” ujarnya.
Budiman menegaskan demokrasi membutuhkan stabilitas yang sehat, bukan stabilitas semu ala rezim otoriter.
“Demokrasi tanpa stabilitas akan menciptakan anarki, sedangkan stabilitas otoriter bisa mengarah ke fasisme. Kita tidak ingin kembali ke Orde Baru,” tegasnya.
Lebih jauh, Budiman memaparkan konsep kekuatan geopolitik yang harus dimiliki Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo.
Ia membaginya ke dalam dua kategori utama: hard power (militer dan politik) serta soft power (ekonomi dan budaya).
Dalam perspektif pembangunan nasional, Budiman juga menyinggung gagasan tiga tokoh besar: Soekarno, Soemitro Djojohadikusumo, dan Prabowo Subianto.
“Soekarno memprioritaskan hilirisasi sumber daya alam dengan visi nasionalisme kerakyatan dan kedaulatan sumber daya. Soemitro menekankan industrialisasi dengan visi negara kesejahteraan. Prabowo menggabungkan keduanya, hilirisasi, industrialisasi, financial engineering lewat Danantara, dan data sovereignty untuk misi Indonesia aktif di panggung global,” jelasnya.
Menurut Budiman penggabungan visi besar tersebut menjadi fondasi yang kuat untuk membawa Indonesia menjadi kekuatan baru dunia. Ia pun mengajak semua pihak, terutama generasi muda dan elit politik, untuk tidak menyia-nyiakan momentum ini.
Kegiatan yang berlangsung di Ruang Literasi Kaliurang Yogyakarta tersebut juga menghadirkan Prof Siti Murtiningsih selaku Dekan Fakultas Filsafat UGM yang juga penulis Mendidik Manusia Bersama Mesin.