Pontianak (ANTARA) - Pagi itu, suasana Car Free Day (CFD) di depan Ayani Megamal, Pontianak, tak hanya dipenuhi warga yang jogging atau bersepeda. Di salah satu sudut yang ramai dikerumuni orang, suasananya tampak berbeda, lebih riuh dan penuh rasa penasaran. Di tengah kerumunan, seorang perempuan muda terlihat menahan napas saat seekor ular python albino melingkar lembut di lehernya.
Namanya Syifa, 21 tahun. Awalnya ia hanya berniat melihat-lihat, namun rasa penasaran yang tumbuh perlahan mengalahkan rasa takutnya. Ia pun memberanikan diri mencoba pengalaman yang tak biasa itu.
"Saya sebenarnya takut ular," katanya sembari tertawa kecil usai berpose dengan reptil tersebut di area CFD, Minggu (15/6) pagi.
"Tapi melihat orang lain bisa, saya juga ingin mencoba," katanya lagi.
Setelah beberapa kali berpose, Syifa akhirnya tersenyum lega. Tangan yang semula gemetar kini mulai tenang. Ia mengusap lehernya yang masih terasa hangat karena sentuhan tubuh ular yang melingkar tadi.
"Saya enggak nyangka bisa seberani ini. Ternyata rasanya unik, antara takut dan penasaran ingin menyentuh kulitnya," ujarnya.
Syifa bukan satu-satunya yang datang pagi itu untuk berinteraksi langsung dengan satwa-satwa eksotis yang biasanya hanya terlihat di layar kaca. Di balik kehadiran hewan-hewan tersebut, ada sebuah komunitas yang konsisten mengedukasi dan menghibur masyarakat yaitu Independent Exotic Pets (IEP).
Komunitas ini rutin hadir setiap akhir pekan, berpindah dari CFD pada pagi hari ke Bundaran Digulis Untan pada sore hari. Mereka membawa berbagai jenis reptil seperti iguana, kadal gurun (bearded dragon), dan kura-kura jinak. Tak ketinggalan sugar glider mungil dan burung hantu yang tenang, seolah mengamati keramaian dengan tatapan tajam.
Zulfani, pendiri IEP, mengatakan komunitas ini lahir dari kerinduan para pecinta satwa eksotis yang sempat terhenti berkegiatan selama pandemi. Ia menyatukan sejumlah komunitas kecil pecinta ular, musang, burung, dan reptil lainnya dalam satu wadah yang inklusif dan edukatif.
"Setelah pandemi, kegiatan komunitas sempat berhenti. Kami ingin kembali memperkenalkan hewan-hewan ini, bahwa mereka bukan untuk ditakuti, tapi bisa dipahami dan dirawat," ujarnya.
IEP bukan sekadar ajang pamer hewan unik. Ada misi edukatif di balik setiap interaksi dengan masyarakat. Zulfani dan rekan-rekannya ingin menanamkan pemahaman bahwa satwa eksotis pun bisa hidup berdampingan dengan manusia.
"Banyak orang mengira hewan-hewan ini berbahaya. Padahal, kalau dipelajari dan dipahami, mereka bisa menjadi sahabat juga," katanya menjelaskan.
Ia menambahkan, hewan eksotik tersebut juga ciptaan Tuhan, bukan untuk dibunuh hanya karena bentuknya menakutkan.
Anak-anak adalah penonton favorit komunitas ini. Mereka datang dengan mata membulat, kadang menjerit kecil, kadang penuh rasa ingin tahu. Untuk itu, IEP juga rutin hadir ke sekolah-sekolah lewat program IEP Goes to School. Mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah dasar, program ini dirancang agar anak-anak bisa belajar langsung melalui interaksi nyata, bukan hanya lewat buku atau tayangan YouTube.
"Dengan kehadiran kami, mereka bisa melihat langsung, bahkan menyentuh hewan-hewan yang biasanya hanya mereka lihat dari layar," ujarnya.
Bagi sebagian orang, satwa eksotis mungkin hanya hiburan sesaat. Namun bagi komunitas IEP, setiap pertemuan adalah kesempatan untuk membuka pikiran, menumbuhkan empati, dan menunjukkan bahwa dunia ini juga milik mereka makhluk hidup yang berbeda, namun sama-sama layak dihargai.
