Jakarta (ANTARA) - Pacu Jalur mampu menyelinap dengan cantik dan penuh pesona di tengah hiruk pikuk konten digital yang membanjiri lini masa. Fenomena visual menarik dari Tepian Narosa, Teluk Kuantan, Riau, itu berhasil mencuri perhatian dunia.
Bukan sekadar perlombaan perahu tradisional Pacu Jalur, melainkan aksi "tukang tari" cilik yang beraksi di ujung haluan perahu yang melaju kencang.
Gerakan penari Pacu Jalur itu penuh karisma, penghayatan, dan keberanian, dan secara instan menyebar viral, bahkan menginspirasi ikon-ikon global, mulai dari maskot klub sepak bola AC Milan, hingga pembalap MotoGP Marc Marquez.
Fenomena Pacu Jalur inilah yang memicu gagasan tentang aura farming, satu praktik yang mengoptimalkan daya tarik visual dan emosional dari sebuah momen budaya untuk menciptakan gelombang viral masif, memosisikannya sebagai narasi baru dalam promosi pariwisata.
Konsep aura farming ini pada dasarnya adalah kemampuan mengekstrak dan memproyeksikan inti karisma, kekuatan, atau keindahan yang melekat pada individu atau aktivitas budaya.
Dalam lanskap media sosial saat ini, di mana perhatian adalah komoditas paling berharga, kemampuan menciptakan momen visual kuat dan sarat emosi, seperti pada fenomena Pacu jalur, menjadi kunci. Ini bukan semata-mata soal popularitas instan, melainkan bagaimana kita mengomunikasikan nilai-nilai luhur dan keunikan budaya dengan cara relevan bagi khalayak global.
Fenomena Pacu Jalur ini juga sejalan dengan tren pariwisata pascapandemi yang semakin mengedepankan pengalaman autentik dan bermakna.
Memanen "aura"
Jika Pacu Jalur adalah kasus studi sukses, maka potensi "memanen aura" di seluruh Nusantara sejatinya tidak terbatas.
Selain Pacu Jalur, Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan kekayaan budaya yang diakui UNESCO, melalui berbagai warisan tak benda, adalah museum hidup yang menyimpan "aura" tidak terhingga.
Mari kita telaah beberapa di antaranya.
Pertama, perhatikan Tari Saman dari Aceh, sebuah Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO. "Aura" di sini terpancar dari sinkronisasi luar biasa ratusan penari yang bergerak serempak, menepuk dada, tangan, dan paha, dengan kecepatan dan presisi memukau.
Ekspresi konsentrasi mereka, paduan suara tepukan tangan yang membentuk melodi alami, melahirkan gelombang energi visual dan auditori yang menghipnotis. Konten yang menyoroti detail ekspresi dan gerak lambat untuk menangkap koordinasi sempurna, akan menampilkan disiplin, kebersamaan, dan keagungan budaya Gayo (Aceh).
Bergerak ke selatan, kita temukan Loncat Batu di Nias, Sumatera Utara, sebuah ritual yang memancarkan "aura" keberanian dan ketangkasan. Seorang pemuda yang melompati tumpukan batu setinggi dua meter, bukan hanya aksi fisik, melainkan simbol kedewasaan dan kehormatan Suku Nias.
Merekam momen krusial ini dalam gerak lambat, menangkap ketegangan sebelum melompat, dan euforia setelah berhasil, akan memancarkan aura heroik yang universal, beresonansi dengan kisah-kisah pencapaian diri.
Di jantung Jawa, Wayang Kulit, mahakarya warisan budaya dunia yang juga diakui UNESCO, menawarkan "aura" sang dalang. Kemampuan dalang menghidupkan karakter wayang dengan lincah, diiringi gamelan yang ritmis dan lantunan suara penuh penjiwaan, menciptakan dimensi pertunjukan yang dalam.
Sorotlah ekspresi dalang yang menyatu dengan karakter atau detail ukiran pada wayang yang dimainkan. Ini adalah aura kebijaksanaan dan penguasaan seni turun-temurun yang sarat filosofi.
Menjelajah lebih jauh ke timur, Tari Perang atau Cakalele di Maluku memancarkan "aura" kegagahan dan semangat juang.
Para penari yang mengayunkan parang dan salawaku (perisai) dengan sorakan heroik dan ekspresi wajah garang, adalah representasi dari sejarah panjang perlawanan dan keberanian masyarakat Maluku.
Kamera bisa menangkap momen puncak di mana energi kolektif para penari memuncak, seolah medan perang hidup kembali, menawarkan visual kuat tentang identitas dan kekuatan kolektif.
Tidak ketinggalan, di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, upacara Rambu Solo yang megah adalah ladang "aura" kehormatan dan spiritualitas. Dari prosesi pengangkatan jenazah yang dihias megah, tarian Ma'badong yang khusyuk, hingga penyembelihan kerbau, setiap elemen sarat makna.
"Aura" di sini terpancar dari keteguhan memegang tradisi, kebersamaan keluarga, dan keindahan ritual yang tidak lekang oleh waktu, memicu kekaguman akan sistem kepercayaan yang unik.
Narasi baru
Fenomena aura farming ini menegaskan bahwa daya tarik pariwisata tidak selalu datang dari kemegahan infrastruktur, melainkan dari otentisitas, narasi kuat, dan kemampuan visual yang memukau.
Sebagaimana riset pemasaran pariwisata modern, termasuk dari World Tourism Organization (UNWTO), menunjukkan bahwa pengalaman autentik dan cerita personal, memiliki daya tarik jauh lebih besar ketimbang promosi massal yang generik.
Ketika seorang anak laki-laki dengan tatapan fokus dan gerakan luwes bisa memicu replikasi global, itu adalah bukti nyata bahwa kekayaan budaya kita memiliki daya saing global.
Maka, sudah saatnya para pegiat pariwisata, pemerintah daerah, komunitas budaya, dan tentu saja para content creator berkolaborasi lebih strategis.
Kita perlu lebih peka terhadap "aura" yang tersembunyi dalam setiap jengkal budaya yang dimiliki negeri ini.
Sudah waktunya kita mengidentifikasi figur-figur karismatik, momen-momen puncak dalam upacara adat, atau keterampilan tradisional yang memukau, lalu mengemasnya dengan teknik visual dan narasi yang cerdas, menggunakan platform digital sebagai medium amplifikasi.
Aura farming adalah undangan untuk menggali lebih dalam, bukan hanya melihat permukaan. Ini adalah cara baru untuk mempromosikan pariwisata berbasis budaya yang tidak hanya menjual objek, tetapi juga pengalaman, nilai, dan jiwa Indonesia itu sendiri.
Kita tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga membangun jembatan pemahaman antarbudaya. Mari kita panen "aura" Indonesia dan sebarkan keindahannya ke seluruh penjuru dunia.
*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati industri pariwisata, Tenaga Ahli di Komisi VII DPR RI yang membidangi industri, pariwisata, UMKM, ekonomi kreatif, BSN dan Lembaga Penyiaran Publik
