Bengkayang (ANTARA) - Pemuda adat di perbatasan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar) menyerukan dan mendorong perlindungan untuk tanah adat yang hingga kini masih berstatus kawasan hutan.
Ketua Karang Taruna Kecamatan Sajingan Besar Abelnus mengatakan masyarakat adat yang tinggal di perbatasan telah turun-temurun mengelola lahan pertanian dan pemukiman mereka. Namun, sebagian besar wilayah itu justru masuk dalam peta kawasan hutan, sehingga menghambat aktivitas dan pembangunan di desa.
“Masyarakat ingin tanah adat mereka diakui secara sah. Ini bukan lahan baru, tapi warisan leluhur yang dikelola jauh sebelum negara terbentuk,” ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) agraria dan batas negara yang digelar Karang Taruna Sajingan Besar di Desa Sanatab, Sambas, Jumat.
Dia berharap dari FGD tersebut dapat menjadi ruang untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Pemerintah menghormati keberadaan masyarakat adat yang selama ini menjaga kelestarian hutan dan batas negara.
"Hasilnya akan dijadikan bahan rekomendasi kepada pemerintah pusat untuk mempercepat pengakuan dan perlindungan tanah adat di wilayah perbatasan," ujarnya.
Sesepuh Dewan Adat Dayak Sajingan Besar Libertus, mengungkapkan sedikitnya empat desa di Sajingan Besar masih terjebak dalam kawasan hutan, yaitu Desa Sanatab, Desa Santaban, Desa Sei Bening, dan Desa Kaliau. Akibatnya, warga kesulitan menggarap lahan pertanian dan mengembangkan ekonomi keluarga.
“Kami tidak ingin kehilangan hak atas tanah yang sudah kami kelola sejak nenek moyang. Pemerintah harus mencabut status kawasan hutan di lahan pertanian warga,” ujarnya.
Dia menambahkan masyarakat Dayak Salako dan Bakati telah lama tinggal di wilayah Sajingan dengan sistem adat yang diakui secara turun-temurun.
Anggota DPD RI asal Kalimantan Barat Maria Goreti menilai perjuangan masyarakat adat di Sajingan Besar mencerminkan keinginan kuat mempertahankan hak atas tanah yang menjadi sumber kehidupan.
Ia menegaskan pemerintah harus segera menindaklanjuti penyelesaian konflik agraria di perbatasan. “Negara tidak boleh menutup mata terhadap perjuangan masyarakat adat. Mereka telah menjaga tanahnya secara turun-temurun dan justru menjadi benteng pertahanan di wilayah perbatasan,” katanya.
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kalimantan Barat Lorensius Tatang menyampaikan bahwa masyarakat perlu memperkuat perjuangan mereka dengan proses pengakuan resmi wilayah adat. BRWA siap mendampingi masyarakat untuk mendaftarkan dan memetakan wilayah adat agar diakui negara.
“Langkah terbaik adalah memperjuangkan hak melalui jalur yang sah agar wilayah adat memiliki kepastian hukum,” ujarnya.
