Jakarta (ANTARA) - Tersangka kasus dugaan korupsi dalam pekerjaan pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat tahun 2008–2018, Halim Kalla, tidak menghadiri pemeriksaan perdana sebagai tersangka karena sakit.
“Untuk hari ini tersangka HK (Halim Kalla) tidak datang dan mengajukan penjadwalan ulang tanggal 20 November karena alasan sakit,” kata Direktur Penindakan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri Brigjen Pol. Totok Suharyanto di Jakarta, Rabu.
Sejatinya, adik Jusuf Kalla itu dijadwalkan diperiksa bersama tersangka berinisial HYL pada hari ini. Akan tetapi, sama seperti Halim, HYL juga mengajukan penjadwalan ulang pada tanggal 18 November karena sakit.
Sebelumnya, Totok mengatakan bahwa penyidik pada Kortastipidkor menjadwalkan pemeriksaan perdana empat tersangka kasus dugaan korupsi PLTU.
Empat tersangka itu adalah FM selaku mantan direktur perusahaan listrik milik negara, HK (Halim Kalla) selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Direktur Utama PT BRN, dan HYL selaku Direktur Utama PT Praba Indopersada (PI).
Sesuai jadwal, tersangka FM dan RR akan diperiksa pada Selasa (11/11), sedangkan tersangka Halim Kalla dan HYL pada Rabu (12/11).
Namun, pada Selasa (11/11) hanya tersangka RR yang memenuhi panggilan.
Adapun modus tindak pidana korupsi dalam kasus ini adalah adanya pemufakatan dalam rangka memenangkan pelaksanaan proyek pekerjaan.
Dalam konferensi pers pada 21 Oktober lalu, Totok menerangkan bahwa kasus ini bermula saat perusahaan listrik milik negara pada tahun 2008 mengadakan lelang untuk pembangunan PLTU 1 Kalbar di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Kalbar.
Namun, sebelum pelaksanaan, terjadi pemufakatan untuk memenangkan PT BRN.
Dalam pelaksanaan lelang, KSO BRN-Alton-OJSC juga telah diatur agar diloloskan dan dimenangkan meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis.
"Selain itu, diduga kuat bahwa perusahaan Alton-OJSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN," ucap Totok.
Kemudian, pada tahun 2009, sebelum dilaksanakan penandatanganan kontrak, KSO BRN mengalihkan seluruh pekerjaan pembangunan kepada PT Praba Indopersada, termasuk penguasaan rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan kepada PT BRN.
Selanjutnya, tersangka HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN.
"Dalam hal ini diketahui bahwa PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalbar," ungkap Totok.
Berikutnya, pada tanggal 11 Juni 2009, tersangka FM selaku direktur perusahaan listrik milik negara dengan tersangka RR selaku Direktur Utama PT BRN menandatangani kontrak dengan nilai 80.848.341 dolar AS dan Rp507.424.168.000,00.
Tanggal efektif kontrak tersebut mulai 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai tanggal 28 Februari 2012.
Pada akhir kontrak, KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 persen pekerjaan. Sampai amandemen kontrak yang ke-10 yang berakhir pada 31 Desember 2018, KSO BRN maupun PT Praba Indopersada tidak mampu menyelesaikan pekerjaan atau hanya mencapai 85,56 persen karena alasan ketidakmampuan keuangan.
"Akan tetapi, fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen sehingga PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari perusahaan listrik milik negara sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta dolar AS," ucapnya.
Sampai saat ini, pembangunan PLTU tersebut belum juga selesai dan tidak dapat dimanfaatkan sehingga negara mengalami kerugian.
