Jakarta (ANTARA) - Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengajukan permohonan keberatan (judicial review) terhadap Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi 2018-2038 pada Kamis, di Mahkamah Agung.

Perda itu secara sah ditetapkan Pelaksana tugas Gubernur Riau, Wan Thamrin Hasyim tanggal 8 Mei 2018. Sayangnya, pengesahan Perda ini melahirkan berbagai persoalan, salah satunya Pengaturan outline yang membolehkan aktivitas non kehutanan di kawasan hutan. Koalisi dua organisasi lingkungan hidup itu menemukan, Perda RTRWP Riau bertentangan dengan aturan sektoral lainnya.

Pertama, Perda mengalokasikan kawasan lindung gambut seluas 21.615 hektare (0,43 persen) dari 4.972.482 hektare lahan gambut di Riau. Jumlah itu jauh di bawah ketentuan PP Nomor 71 tahun 2014 juncto PP Nomor 57 tahun 2016 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dimana provinsi harus mengalokasikan minimal 30 persen menjadi kawasan lindung.

Itu juga bertentangan dengan SK 130/MENLHK/Setjen/PKL.0/2/2017 tentang penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, dimana Riau ditetapkan fungsi lindung seluas 2.378.108 hektare.

Kedua, usulan perhutanan sosial seluas 112.330 hektare di Riau belum ditindaklanjuti Direktorat Jenderal (Dirjen) Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) dengan alasan belum mendapat rekomendasi dari DPRD Riau.

Padahal merujuk Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan juncto Peraturan Menteri LHK No 83 Tahun 2016 tentang perhutanan sosial izin Perhutanan Sosial merupakan kewenangan Menteri LHK, tidak membutuhkan rekomendasi Gubernur dan pembahasan bersama DPRD. “Bagaimana mungkin izin perhutanan sosial harus disetujui bersama antara Gubernur dan DPRD? Ini menghambat hak warga untuk mendapatkan akses untuk mengelola hutan dan tanah. Ini juga tak sejalan dengan program pemerintahan Jokowi-JK,” kata Riko Kurniawan, Eksekutif Daerah Walhi Riau.

Ketiga, Perda RTRW Provinsi Riau berupaya mempersempit kewenangan Menteri LHK atas kawasan hutan. Di dalam Perda itu dialokasikan 405.874 hektare kawasan hutan ke dalam outline.

Padahal perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan merupakan otoritas Menteri LHK yang tidak dibatasi oleh outline selama itu berada dalam kawasan hutan merujuk Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 104 tahun 2015 tentang perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.

Temuan Jikalahari di lapangan, kawasan hutan seluas 29.102 hektare dari 405.874 hektare telah dikuasai secara ilegal oleh lima korporasi dan dua pemodal, PT Torganda di Rokan Hulu seluas 9.979 hektare, PT Padasa Enam Utama di Kampar seluas 1.926 hektare, PT Agro Mandiri atau Koperasi Sentral Tani Makmur Mandiri di Kampar seluas 485 hektare, PT Andika Pratama Sawit Lestari di Rokan Hulu 10.098 hektare, PT Citra Riau Sarana di Kuantan Singingi seluas 4.000 hektare dan dua pemodal di Rokan Hilir dan Kuantan Singingi seluas 2.614 hektare.

"Perda ini hendak melegalkan tindak pidana yang dilakukan korporasi sawit yang merambah kawasan hutan dengan memaksa KLHK mengubah fungsi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lainnya melalui outline," kata Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo di Jakarta, Kamis.

Untuk itu, menjelang ulang tahun Provinsi Riau, Okto ingin menghadiahkan ajuan Permohonan Keberatan atas Perda RTRW itu ke Mahkamah Agung di Jakarta sebagai upaya penghentian bencana kabut asap dan memberikan keadilan ruang dan ekologis bagi warga Riau.

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019