Banjarbaru (ANTARA) - Pengembangan model pengelolaan lahan rawa pasang surut ramah lingkungan berbasis panca kelola lahan terus digelorakan Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Peneliti Madya Balittra, Wahida Annisa Yusuf mengatakan, pengelolaan lahan rawa pasang surut harus tetap mengindahkan kondisi dan sifat-sifat lahan yang khas dan unik. Dalam arti, tidak membuat kegiatan yang mengarah pada perubahan lingkungan yang drastis, yang dapat berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan.

"Pengelolaan daerah rawa untuk ketahanan pangan (food security) dan pelestarian lingkungan (konservasi) merupakan dua sisi yang harus diperhatikan secara proporsional dan secara bersamaan," terang Wahida di Banjarbaru, Senin.

Dia menjelaskan, lahan rawa dapat dimanfaatkan secara bijak dan menjadi sumber pertumbuhan yang mampu mendorong laju pembangunan pertanian.

Namun begitu, sifatnya yang spesifik, diantaranya tipologi lahan, jenis tanah, dan tipe genangan yang berbeda, maka potensinya sebagai lahan pertanian tentu akan berbeda pula dari satu area dan lainnya.

Baca juga: Balittra dan ULM sepakat kembangkan desain infrastruktur lahan rawa

Baca juga: Petani nikmati hasil panen padi unggul setahun dua kali


Tanah-tanah rawa pada dasarnya adalah tanah marginal karena bahan induknya miskin hara, bersuasana anaerob, berpirit, dan bila terusik karena dialih fungsikan akan mengeluarkan zat-zat yang dapat meracuni tanaman (sulfida, besi fero, dan asam-asam organik) yang ditandai oleh penurunan nilai pH menjadi masam.

Tanah sulfat masam merupakan salah satu jenis tanah di lahan rawa yang memiliki kandungan bahan sulfidik (pirit) yang tinggi yang terbentuk pada daerah yang mengalami interaksi antara air sungai tawar dengan air laut yang ditunjang oleh keberadaan bahan organik dan kondisi tergenang (reduktif).

"Oksidasi pirit dapat ditekan dengan cara memperlambat gerakan air dalam tanah dan mengusahakan tanah tetap jenuh atau kondisi tetap reduktif," jelas lulusan S3 Program Studi Ilmu Pertanian minat Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

Petani di Desa Sidomulyo Kecamatan Tamban Catur, Kabupaten Kapuas yang jadi binaan Balittra berhasil dua kali panen setahun.(antara/foto/firman)


Untuk itulah, kata Wahida, model pertanian terpadu di lahan rawa berbasis panca kelola lahan lebih menekankan pada proses biologis dalam berbagai tahap proses produksinya yang dapat meningkatkan IP (Indeks Pertanaman) dan produktivitas tanaman.

Adapun panca kelola yang dimaksud, pertama menyatukan pengelolaan air satu arah, kedua modernisasi cara tanam, ketiga pemupukan berimbang, keempat varietas unggul baru potensi hasil tinggi serta kelima pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).

Dipaparkan wanita yang tercatat sebagai Sekretaris IV Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) periode 2015-2019 ini, pengelolaan air satu arah, dimana air masuk (irigasi) dan keluar (drainase) melalui saluran yang berbeda, sehingga secara berkala terjadi pergantian air mengikuti siklus satu arah.

Sistem pengelolaan air satu arah ini memerlukan bangunan pintu air (flapgate dan stoplog) pada muara saluran. Pintu air pada saluran irigasi dirancang membuka ke dalam saat pasang dan menutup saat surut, sedangkan pada saluran drainase dirancang sebaliknya.

Baca juga: Rekayasa air rawa mungkinkan petani panen 2-3 kali

"Penerapan sistem ini tidak hanya ditingkat tersier tetapi juga ditingkat sekunder," jelasnya menekankan.

Untuk modernisasi cara tanam dilakukan dengan sebar langsung dengan tabela dan tanam pindah serta alsintan.

Kemudian pemupukan dilakukan secara berimbang dengan memberikan pupuk sesuai status hara tanah dan sistem pendukung atau Decision Support System (DSS).

Sedangkan varietas unggul baru potensi hasil tinggi diarahkan menggunakan varietas adaptif di spesifik lokasi dan memberikan capaian hasil cukup baik serta sesuai preferensi petani, sekaligus sebagai representasi rasa nasi pera kesukaan masyarakat Banjar (setempat).
Perangkap hama (light trap) di demfarm petani Desa Sidomulyo Kecamatan Tamban Catur. (antara/foto/firman)


Terakhir konsep pengendalian hama terpadu dengan tanam serempak, penggunaan varietas tahan, pengendalian hayati (pestisida nabati), penggunaan perangkap (light trap) dan pestisida kimia berdasar ambang batas ekonomi jika komponen pengendalian lain tidak mampu mengendalikan hama penyakit.

"Hasil dari pengelolaan lahan rawa pasang surut ramah lingkungan berbasis panca kelola telah mampu meningkatkan Indeks Pertanaman petani di Desa Sidomulyo Kecamatan Tamban Catur, Kabupaten Kapuas dari IP 100 (satu kali panen setahun) menjadi IP 200 (dua kali panen setahun) serta hasil gabah pada mencapai 108,18 persen dengan nilai MBCR (Marginal Benefit Cost Rasio) sebesar 4.8 di tahun 2018," tandas Wahida.

Anggota Tim Penyunting Jurnal Tanah dan Iklim Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian ini pun berharap, koordinasi dan sinergitas antara stakeholder penghasil dan pengguna teknologi terus dilakukan untuk keberhasilan pengembangan inovasi pertanian di lahan rawa.

"Agustus lalu telah dilakukan temu lapangan yang dihadiri langsung Kepala Balittra Hendri Sosiawan untuk menyosialisasikan teknologi panca kelola di tingkat petani dan stakeholder lainnya. Kelompok tani Sidomakmur II di Desa Sidomulyo menyampaikan ungkapan rasa senang dan terima kasih atas bimbingan yang diberikan Balittra, sehingga lahannya tidak hanya meningkat indeks pertanamannya tetapi juga diikuti dengan meningkatknya produksi gabah dari lahannya," ungkap Wahida.

Tersedianya teknologi pengelolaan terpadu panca kelola super spesifik lahan rawa pada akhirnya berdampak terhadap penguatan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan nasional guna mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan nasional.

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019