London, (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah Aceh perlu bekerjasama dengan komunitas internasional untuk menyelamatkan khazanah dan karya-karya kebudayaan Aceh yang hilang akibat tsunami maupun yang diperjual-belikan dan dibawa ke luar dari daerah itu. Hal itu terungkap dalam acara Talk Show "Aceh-Nias Rehabilitation and Reconstruction, Efford to Save Aceh`s Heritage," yang digelar Paguyuban Masyarakat Indonesia di Inggris yang tergabung dalam Wadah di KBRI London, akhir pekan lalu. Kepala Museum Aceh Nurdin Abdurrahman yang tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut mengatakan, jika upaya tidak dilakukan maka berbagai khazanah kebudayaan yang sangat berharga dan bernilai tinggi itu akan segera punah. Tampil dalam acara tersebut Sekjen Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh, Teuku Kamaruzzaman dan Kepala Seksi Asia dan Asia Tenggara di British Library Dr Annabel Gallop dan dihadiri Ketua Umum Wadah Aidinal Alrashid dan Dutabesar RI Berkuasa Penuh untuk Kerajaan Inggeris Raya dan Republik Irlandia Yuri Thamrin yang menyambut baik dan menghargai digelarnya acara tersebut. Perkembangan terbaru Acara Talk-show dengan moderator Amich Alhumami, mahasiswa doktoral departemen antropologi Universitas Sussex, diprakarsai organisasi Wadah bekerja sama dengan KBRI, yang bertujuan untuk memberi informasi dan perkembangan terbaru menyangkut proses pembangunan kembali Aceh pascatsunami. Ketua Wadah Bidang Pendidikan Saharman Gea kepada ANTARA London, Minggu mengatakan acara ini digelar sekaligus sebagai bentuk akuntabilitas lembaga-lembaga donor dan komunitas internasional yang memberikan sumbangan kepada masyarakat Aceh. Dalam acara yang dihadiri pula wakil dari lembaga sosial masyarakat di Inggeris seperti Muslim Aid, Small Kindness, dan Oxfam, Nurdin Abdurrhaman lebih lanjut mengatakan, akibat tsunami, banyak naskah kuno hilang karena gedung yang menyimpan dokumen bersejarah itu hancur dan banyak arsip hanyut terbawa gelombang air. Selain itu, ujarnya, dengan alasan kesulitan ekonomi banyak naskah kuno milik perseorangan dijual ke pihak lain di luar negeri, terutama Malaysia, yang meminati karya-karya kebudayaan bernilai sejarah tinggi tersebut. Menurut Nurdin Abdurrhaman, sungguh ironis, untuk keperluan studi dan penelitian, peneliti Aceh harus pergi ke tempat lain untuk mempelajari-ulang dokumen sejarah yang menjadi milik mereka dan diproduksi oleh para sarjana dan intelektual Aceh sendiri. Dikatakannya, banyak warisan budaya dalam bentuk naskah kuno itu menandai masuk dan berkembangnya Agama Islam di nusantara, yang melahirkan banyak ulama dan pujangga yang menulis berbagai karya intelektual dan buku ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu. Naskah kuno warisan budaya Aceh itu merupakan salah satu sumber primer studi sejarah dan kebudayaan Aceh, khususnya Islam yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Di samping sebagai barang antik yang menyimpan memori ilmu pengetahuan, naskah kuno itu juga merupakan benda unik dan menyimpan banyak pola dan motif hiasan dan tulisan indah (kaligrafi) yang tidak banyak lagi dikenal bahkan oleh orang Aceh sendiri. Sangat disayangkan, di kalangan masyarakat Aceh sekarang hampir tidak ada lagi yang menekuni bidang keahlian dalam hal seni kaligrafi dan seni memahat yang pernah menjadi salah satu kebanggaan di masa silam, ujarnya. Padahal, keahlian semacam ini masih terus berlanjut dan diteruskan oleh generasi penerus, misalnya, di kalangan masyarakat Jawa. Simbol intelektual Sementara itu, Dr. Annabel Gallop yang dikenal sebagai ahli manuskrip kuno Aceh mengatakan Aceh menyimpan khazanah kebudayaan yang demikian kaya, yang menandai salah satu puncak pencapaian sekaligus simbol gerakan intelektualisme para pemikir, seniman, dan sastrawan Aceh. Zaman keemasan Aceh itu terjadi pada masa kesultanan Islam yang berpuncak pada masa Sultan Iskandar Muda, ujarnya. Di antara banyak peninggalan khazanah kebudayaan itu adalah seni kaligrafi Al-Quran yang bernilai artistik tinggi, dengan dekorasi dan iluminasi berkarakter dan khas Aceh yang berbeda dari seni kaligrafi Al-Quran di Minangkabau, Palembang, atau masyarakat Melayu lainnya. Menurut Dr. Annabel Gallop, sebagian besar manuskrip kuno Aceh ini sekarang justru tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Sedangkan Teuku Kamaruzzaman yang menjabat Sekjen Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh mengatakan selama hampir lima tahun masa kerja, BRR relatif telah berhasil melaksanakan program rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh pascatsunami. Infrastruktur fisik berupa jalan, pelabuhan, pasar, gedung perkantoran, rumah sakit, sekolah, telah dibangun kembali dan mulai beroperasi normal sehingga mampu menopang kehidupan perekonomian dan sosial-kemasyarakat di Aceh. Keberhasilan pembangunan kembali Aceh yang relatif memuaskan ini tak terlepas dari bantuan yang diberikan oleh pemerintah negara-negara sahabat dan komunitas internasiona, demikian Teuku Kamaruzzaman.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008