Bali (ANTARA) - Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan Kementerian Pertanian RI Kasdi Subagyono berjanji menuntaskan segala permasalahan yang ada di industri kelapa sawit guna mempercepat Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

"Saat ini sudah lebih dari 600 ribu hektare diproses. Ini komitmen pemerintah untuk bisa menata dan memfasilitasi segala permasalahan yang ada hingga tak lagi menghambat industri ini," terang Kasdi kepada wartawan usai menjadi pembicara di konferensi minyak sawit "15th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2019 and 2020 Price Outlook" di Bali Nusa Dua Convention Center, Jumat.

Permasalahan tumpang tindih izin dan sebagainya hingga 3,1 juta hektare lahan sawit yang berada di kawasan hutan, kata dia, harus diselesaikan.

Baca juga: Realisasi penyaluran dana PSR 2019 capai 37 persen

Diakui Kasdi, banyak lintas kementerian yang terlibat sehingga sinergitas semuanya mesti berjalan baik. Seperti menyangkut kawasan hutan merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Sehingga pihaknya harus merangkul LHK.

Kemudian berkaitan dengan Hak Guna Usaha (HGU), Kementan menggandeng Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk legalitasnya.

"Ada 2,4 juta hektare yang harus di-replanting atau penanaman kembali. Jadi kita pilih yang mana prioritas dulu. Kalau masih ada masalah misal masuk kawasan hutan dan sebagainya jadi prioritas kedua," tandasnya.
Prof Pietro Paganini dari John Cabot University of Roma saat konferensi minyak sawit "15th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2019. (antara/foto/firman)


Sementara Prof Pietro Paganini dari John Cabot University of Roma mengingatkan, kampanye global antisawit khususnya terkait kesehatan sebenarnya hanya merupakan kamuflase dari strategi pasar Uni Eropa memperkuat pasar minyak nabati global.

Menurut Paganini, ada beragam kampanye yang dilakukan untuk mencederai reputasi sawit demi memperkuat pasar minyak nabati global. Salah satu pelabelan palm oil free. Pada prinsipnya kampanye ini lebih condong digunakan untuk mempengaruhi persepsi negatif publik terhadap sawit tentang kesehatan.

"Kampanye ini juga ikut ditunggangi oleh pihak lain seperti para pelaku industri makanan, NGO dan kelompok politik di negara produsen sawit. Keberhasilan kampanye antisawit karena banyak negara di Eropa sangat konsen terhadap isu kesehatan dibandingkan isu deforestasi. Padahal hasil studi menunjukkan lemak jenuh yang berasal dari kelapa sawit tidak berbeda dibandingkan sumber nabati lain," paparnya.

Baca juga: Bungaran: PSR perlu dibarengi perbaikan perkebunan sawit rakyat

Diungkapkan Paganini, kampanye antisawit dianggap berhasil karena mampu menurunkan impor minyak sawit di beberapa negara besar Eropa seperti Perancis dan Jerman. Kenaikan impor minyak sawit hanya terjadi di Spanyol. Sedangkan permintaan Italia terhadap produk minyak sawit cenderung stagnan.

Adapun Prof Erliza Hambali dari Institut Pertanian Bogor (IPB) melihat perlunya peningkatan upaya hilirisasi industri sawit.

"Seperti Malaysia setahu saya tidak lagi mengekspor Crude Palm Oil (CPO). Produk turunan ini harusnya digenjot. Sekarang pertanyaannya mau atau tidak kita melakukannya. Kemudian pasarnya juga harus mesti jadi pertimbangan," tandasnya.

Turur hadir juga dalam sesi diskusi yang sama Dr Otto Hospes dari Wageningen University.

Pewarta: Firman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019