Dalam draf RUU Cipta Kerja menghapus pasal 59 UU 13 tahun 2003, yakni mengenai perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Dengan demikian kerja kontrak bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan
Jakarta (ANTARA) - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja menghilangkan pesangon untuk para pekerja.

"Dalam draf RUU Cipta Kerja menghapus pasal 59 UU 13 tahun 2003, yakni mengenai perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Dengan demikian kerja kontrak bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu.

Ia mengemukakan bahwa dalam draf RUU tersebut  juga disebutkan tidak ada batasan waktu sehingga kontrak kerja bisa dilakukan seumur hidup sehingga pekerja tetap akan semakin langka.

"Karena statusnya kontrak kerja, bisa dengan mudah dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan habis kontrak dan kemungkinan tidak ada lagi pesangon, karena pesangon hanya untuk pekerja tetap," kata Said Iqbal, yang juga salah satu pengurus pusat Organisasi Buruh Internasional (ILO) di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, (ILO Governing Body-United Nation) itu.

Selain itu, kata dia, pengusaha dengan mudah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan selesainya suatu pekerjaan.

"Akibatnya, pengusaha bisa gampang melakukan PHK dengan atau efisiensi karena order atau pekerjaannya sudah habis. Sedangkan bagi pekerja kontrak yang di PHK karena selesainya suatu pekerjaan, padahal masa kontraknya belum berakhir, tidak lagi mendapatkan hak sesuai dengan sisa kontraknya. Tetapi hanya mendapatkan kompensasi," katanya.

Ia menegaskan bahwa kompensasi hanya diberikan kepada pekerja yang memiliki masa kerja paling sedikit satu tahun. Hal itu, kata Iqbal, akan mendorong perusahaan untuk mempekerjakan pekerja kontrak kurang dari satu tahun.

"Pilihan enam hari kerja dan tujuh hari kerja dihapus, sehingga memungkinkan pengusaha untuk mengatur jam kerja secara fleksibel," kata anggota tim perumus Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No 2 Tahun 2004 tentang Pengaduan Perburuhan itu.

Hal itu, kata dia, dikarenakan dalam draf RUU tersebut hanya disebutkan waktu kerja paling lama delapan jam dalam satu hari dan 40 jam dalam satu pekan.

"RUU ini membuka kemungkinan pekerja dipekerjakan tanpa batasan waktu yang jelas, sehingga kelebihan jam kerja setelah sehari bekerja delapan jam tidak dihitung lembur," tambah Iqbal, yang pada 2013 berhasil terpilih sebagai Tokoh Buruh Terbaik Dunia dari "The Febe Elisabeth Velasquez Award", serikat pekerja asal Belanda dari 200 kandidat buruh lainnya di dunia.

Oleh karena itu, KSPI menolak RUU Cipta Kerja karena dianggap merugikan buruh. KSPI juga akan melakukan aksi besar-besaran selama draf RUU tersebut dibahas DPR.

"Aksi ini tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah," demikian Said Iqbal.


Baca juga: Enam alasan serikat pekerja tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Baca juga: KSPI ancam mogok nasional jika tak diikutkan bahas RUU Omnibus Law

Baca juga: Soal Omnibus Law, KSPI khawatir terjadi rasionalisasi tenaga kerja

Baca juga: Ribuan buruh KSPSI berdemo di DPR tolak Omnibus Law

Pewarta: Indriani
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020