Jakarta (ANTARA) - Para peneliti di China menemukan harapan baru untuk mengatasi virus corona baru atau COVID-19 yang kini menjadi pandemi, melalui obat hydroxychloroquine.

Mereka, melalui studi yang dipublikasikan dalam jurnal Cell Discovery 18 Maret lalu mengungkapkan, obat yang telah digunakan secara luas untuk mengobati penyakit autoimun seperti lupus dan rheumatoid arthritis ini berpotensi menghambat infeksi SARS-CoV-2 atau penyebab COVID-19.

Hydroxychloroquine memiliki struktur kimia dan mekanisme yang sama seperti chloroquine, yakni menghambat masuknya SARS-CoV dengan mengubah glikosilasi reseptor ACE2 dan lonjakan protein.

Menurut mereka, penyerapan obat ini pada manusia sangat efisien pada dosis yang aman dan sifatnya yang lebih sedikit beracun dibandingkan chloroquine.

Baca juga: Obat-obat ini berpotensi melawan virus corona

Baca juga: RSPI Sulianti Saroso apresiasi penyerahan obat chloroquine


Tetapi, meskipun hydroxychloroquine lebih sedikit beracun dibandingkan chloroquine, penggunaan jangka panjang dan overdosis masih bisa menyebabkan keracunan.

Pengujian di China sudah dimulai, dan peneliti kini masih menunggu konfirmasi uji klinisnya. Namun, hasil laboratorium awal menunjukkan hydroxychloroquine mampu menghambat infeksi SARS-CoV-2.

Sementara itu, chloroquine yang sudah disebut lebih awal berpotensi mengobati COVID-19 sudah teruji aman dan relatif berbiaya murah.

Di China, chloroquine sudah masuk dalam daftar obat untuk pengobatan COVID-19.

Hanya saja, karena pemanfaatan obat yang digunakan untuk mengobati malaria ini jarang dalam beberapa tahun terakhir, produksi dan pasokan pasarnya sangat berkurang, setidaknya di China.

Baca juga: WHO: Hindari konsumsi ibuprofen untuk obati gejala virus corona

Baca juga: Jambu biji dan senyawa potensial pencegah COVID-19


Kimia Farma

Di Indonesia, Kimia Farma menggunakan chloroquine untuk pengobatan COVID-19 di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta. Simulasi yang dilakukan yakni 6 tablet obat per hari.

Saat ini tersedia sekitar 365.500 tablet yang bisa digunakan untuk 140.000 pasien.

Selain Chloroquine, perusahaan itu juga memanfaatkan azithromycin dan aluvia (lopinavir dan ritonavir) sebagai bagian terapi COVID-19 di rumah sakit yang sama. Aluvia, yang dikenal sebagai obat HIV sudah digunakan dalam pengobatan COVID-19 di Wuhan.

Di sisi lain, harapan pengobatan COVID-19 juga tampak pada remdesivir -- yang dikembangkan Gilead Sciences (Amerika Serikat).

Obat ini bisa memperbaiki kondisi klinis pasien terinfeksi SARS-CoV-2 di Amerika Serikat. Studi kasus dalam New England Journal of Medicine memperlihatkan kondisi sang pasien pulih pada hari setelah pemberian obat.

Fase ketiga percobaan klinis dilakukan di Wuhan pada 4 Februari 2020.

Sebuah laporan yang dipublikasikan laman Los Angeles pada Sabtu (21/3) lalu menunjukkan, cara kerja obat ini tampaknya menghambat replikasi RNA selama siklus reproduksi virus corona.

Hanya saja, belum ada informasi lanjutan apakah remdesivir benar-benar bertanggung jawab pada perbaikan kondisi pasien.

Baca juga: Benarkah WHO larang penggunaan obat dengan kandungan ibuprofen?

Baca juga: Aktor Daniel Dae mengaku sembuh corona berkat obat malaria

Baca juga: Imunitas kunci utama saat belum ada obat lawan COVID-19

 

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020