Jakarta (ANTARA) - Saya mengartikan meditasi di sini dalam arti luas yang berkaitan dengan keheningan, ketenangan, dan terisolir. Bukan dalam arti yang berkaitan dengan semedi, duduk termenung, sambil mengisolasi diri berkonsentrasi fokus ke pikiran tertentu. Tentu ada kemiripan.

Dalam rentang waktu sekitar 2-3 minggu ini umumnya para pegawai kantor, guru, dosen, dan PNS melakukan kegiatan di rumah, atau istilahnya WFH (work from home). Para mahasiswa dan pelajar melakukan SFH atau study from home.

Berhubung jumlahnya relatif banyak, kota-kota besar, terutama Jakarta, sangat luang, kosong, mirip di hari Idul Fitri.

Situasi ini telah membuat Kota Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya sangat hening bak suasana di ruang meditasi. Karena WFH dan SFH ini relatif lama, tentu membuat kota-kota itu menjadi bersih.

Tidak terpapar polusi udara akibat BBM kendaraan bermotor. Langit menjadi terlihat biru dan bersih. Itu juga terjadi di berbagai kota dunia yang biasanya tidak pernah sepi dari kesibukan umat manusia.

Selain berkurangnya polusi udara secara signifikan, polusi suara deru mobil dan motor yang biasanya berseliweran juga berkurang. Kalaulah alam berbicara, bisa saja tanaman, langit, batu, tanah, dan binatang di sekitarnya sedang berbisik, "Keadaan ini nikmat sekali". Alam sedang menikmati meditasi yang cukup panjang.

Manusia yang akhirnya dipaksa oleh COVID-19 untuk tidak berhilir mudik pun sebenarnya sedang merasakan keheningan, seperti meditasi. Secara fisik manusia dipaksa beristirahat di rumah.

Tidak perlu pergi ke kantor untuk pekerjaan sehari-hari. Para pelajar dan mahasiswa tidak ke sekolah atau kampus. Semuanya dilakukan di rumah, termasuk rapat dan menulis surat-surat keputusan.

Begitu juga ujian tengah semester, ujian skripsi, seminar, dan pembimbingan, semua dilakukan melalui dalam jaringan (online). Bagaimana pun tentu secara fisik, manusia tidak sesibuk pada saat normal.

Keadaan ini sebenarnya telah membuat keluarga sering berkumpul, ngobrol, dan makan bareng. Anak-anak kecil merasakan kehangatan bersama ibu-bapaknya.

Sesuatu hal yang umumnya kurang dirasakan anak-anak. Secara naluriah, anak-anak tentu mengharapkan suasana ini berlangsung lama. Walaupun bisa saja orang tuanya merasa bosan, karena persoalan kebiasaan saja.

Kegiatan WFH (SFH) dan perilaku COVID-19 yang tidak tahan akan suhu panas, telah membuat orang-orang sering berjemur dan berolahraga di pekarangan. Ditambah lagi minum jamu-jamu atau minuman sehat berbasis rempah-rempah serta jus buah-buahan, sudah barang tentu hal ini membuat kita lebih sehat.

Tuntutan minum jamu-jamu dan jus buah ini juga disebabkan ada informasi para ahli bahwa COVID-19 ini bisa dilawan oleh kedua jenis minuman itu. Semua ini telah membuat kita lebih sehat daripada biasanya.

Meditasi bersama ini umumnya membuat orang lebih sehat, begitu juga alam. Tentu syarat untuk bertindak sesuai perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta social/physical distancing itu harus dipenuhi. Bila tidak, COVID-19 tetap berseliweran di kerumunan orang.


Solidaritas Sosial

Kita patut bersyukur punya modal sosial yang telah menjadi budaya bangsa, yakni gotong royong. Memang beberapa tahun terakhir gotong royong sempat hilang di hari-hari biasa di Tanah Air.

Sekali-sekali kita ada gotong royong pada saat hari Kemerdekaan RI, misalnya bersih-bersih di lingkungan RT, tetapi hal itu dipicu oleh lomba kebersihan berhadiah.

Kemudian para warga kembali ke kesibukan rutin perkantoran atau bisnis sebagai tuntutan ekonomi modern. Karena gotong royong tidak tampak sebagai unsur modern, biasanya sekadar selingan. Tentu masih lumayan, masih ada di masyarakat.

Gotong royong, akibat COVID-19, mulai muncul lagi. Di grup-grup WA, sering ada informasi warga bersih-bersih dan melakukan penyemprotan disinfektan lingkungan.

Alumni-alumni sekolah, dari SD sampai PT, berjibaku mengirim sumbangan untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Hasil patungan ini ada yang jadi sembako, masker, APD, atau ditransfer ke Gugus COVID-19 di masing-masing daerah. TNI/POLRI bahkan membuat dapur umum untuk para pengendara ojek daring dan penganggur dadakan yang kehilangan pendapatan. Semua ini luar biasa.

Pada saat ini juga para pedagang rempah-rempah bak mendapat durian runtuh. Penjual jahe, kunyit, dan temu lawak yang biasanya menggunung berhari-hari, sekarang banyak diserbu pembeli. Mudah-mudahan hal ini berimbas ke petani rempah-rempah itu.

Sebenarnya hal ini dapat dijadikan pembelajaran untuk menggerakkan ekonomi berbasis sumber daya alam lokal. Ekonomi pertanian yang sudah lama tidak dilirik, bahkan dianggap beban negara, saat ini bisa menjadi penyelamat bangsa.

Paul Romer yang mengusung teori pertumbuhan endogen, yakni ekonomi berbasis sumber daya lokal (local resources), pemenang Hadiah Nobel 2018 itu tidak ramai dibahas di negeri ini.

Hal itu dianggap sebagai ekonomi masa lalu yang kurang modern dan tidak akan mengungkit pertumbuhan spektakuler. Para ekonom negara ini kurang bergairah membahas teori Romer ini. Mungkin tidak menarik atau sedikit malu.

Memang benar ekonomi berbasis sumber daya lokal tidak akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Akan tetapi, ekonomi (pertanian) inilah yang bisa menopang kehidupan, fondasi ekonomi industri dan sektor modern lainnya.

Boleh dikatakan bahwa ekonomi endogen ini adalah almamater atau induk dari ekonomi selanjutnya. Jadi jangan diperbandingkan dengan ekonomi non-pertanian, tetapi harus ada sebagai fondasi.

Pada saat krisis ekonomi 1998, hanya ekonomi pertanian yang tumbuh sekitar 4 persen, sektor ekonomi modern umumnya runtuh.

Di saat wabah COVID-19 ini melanda, tidak ada pilihan agar kita berani menggerakkan ekonomi pertanian atau sumber daya hayati, termasuk perikanan dan peternakan.

Selain pertanian untuk padi, jagung dan kedelai, saat ini harus dibangun rempah-rempah, buah-buahan, sayur-sayuran, dan biji-bijian. Juga jangan lupa bahan pangan pokok berbasis sagu dan ubi-ubian dapat digenjot di dalam negeri.

Di samping pertanian pangan, kita juga sangat kaya dengan perikanan (laut dan darat), unggas (petelur, pedaging, bebek), ruminansia kecil (domba, kambing), ruminansia besar (sapi, kerbau).

Semua itu sudah lama diabaikan. Padahal semuanya mengandung protein dan unsur-unsur yang diperlukan oleh tubuh. Kita dininabobokkan oleh kebiasaan impor.

Sektor ekonomi tradisional ini sebenarnya bisa dibantu oleh aplikasi digital dalam sistem rantai pasok (supply chain). Khusus dalam menanggulangi wabah COVID-19, pemerintah dapat melakukan subsidi input dan output.

Produksinya bisa dibeli oleh pemerintah dengan dana APBN. Bulog dapat diberdayakan untuk menjadi pembeli dan penjual. Para pebisnis digital marketplace bisa diajak kerja sama untuk percepatan distribusi produk. Semuanya sangat memungkinkan.

Pendekatan ini bisa memperkuat ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat. Tanpa kekuatan unsur pangan dan kesehatan, COVID-9 akan "foya-foya" di masyarakat.

Itulah sebabnya masyarakat kota sebaiknya jangan mudik, di saat puasa dan Lebaran sekalipun, untuk menghindari terbawanya COVID-19 ke daerah-daerah agar petani tetap sehat berproduksi dengan tenang.

Ingat di saat ini, jangan berharap adanya suplai bahan pangan dan rempah-rempah dari negara asing. Kita harus mengoptimalkan sumber daya internal sendiri.

Hanya dengan kesungguhan dan kedisiplinan serta kerja sama secara erat, kita bisa selamat. Buang jauh-jauh ego sektoral bila ingin keluar dari krisis akibat COVID-19 ini.

Jadi marilah kita melakukan "meditasi" bersama membangun ekonomi endogen berbasis sumber daya lokal. Kita juga patut bersyukur di bulan April masih ada hujan di sore hari serta panas di siang hari.

Dua hal itu, tidak kondusif bagi penyebaran virus COVID-19. Plus tentunya perlu kedisiplinan masyarakat untuk ber-PHBS serta jaga jarak fisik.

Insya Allah, di dalam kesulitan itu selalu ada kemudahan. Tentunya ini bagi orang-orang berpikir yang pandai bersyukur.

*) Asep Saefuddin adalah Guru Besar IPB/Rektor Universitas Al Azhar Indonesia

Copyright © ANTARA 2020