Jakarta (ANTARA/JACX) - Pada era digital, informasi yang salah dapat menyebar dengan sangat mudah terutama ketika krisis pandemi COVID-19 sehingga para pemeriksa fakta di dunia menjadi kelelahan serta butuh perlindungan.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus bahkan mengatakan organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu tidak hanya memerangi epidemi, tapi juga harus berjuang melawan "infodemik" selama terjadi pandemi COVID-19.

Pemeriksa fakta di seluruh dunia tampak setuju dengan pernyataan Tedros, menyusul teori-teori konspirasi yang muncul sangat melimpah, seperti video viral yang dikaitkan secara keliru, serta pengobatan rumahan palsu yang beredar saat pandemi COVID-19. 

Infodemik merupakan situasi di mana informasi begitu melimpah pada masa terjadi pandemi penyakit tertentu. Kehadiran informasi yang sangat masif berakibat pada kesulitan yang dialami masyarakat untuk membedakan mana informasi yang benar dan informasi yang keliru atau hoaks.

Beberapa agen pemeriksa fakta di dunia melaporkan mereka bisa menerima 2.000 pertanyaan per hari terkait kebenaran suatu informasi, seperti dikutip dari factcheckerlegalsupport.org dalam artikel "COVID-19: Fact-Checkers Overworked and Under Threat".

Staf Pengacara di Komite Reporter untuk Kebebasan Pers Sarah Matthews mengatakan jurnalis maupun pemeriksa fakta memiliki tugas penting untuk memberikan informasi benar kepada publik dan mengatasi kesalahan informasi pada masa pandemi.

"Sangat penting bagi seseorang untuk mendapatkan informasi akurat selama krisis kesehatan masyarakat saat ini, sehingga mereka dapat membuat keputusan yang tepat, dan tahu bagaimana melindungi diri mereka sendiri dan orang yang mereka cintai," kata Matthews.

Kendati demikian, Matthews menilai ancaman yang dihadapi para pemeriksa fakta di dunia kian meningkat, seiring dengan peningkatan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar.

Di Spanyol, pemeriksa fakta dari Newtral.es dan Maldita.es mengalami rentetan pelecehan digital oleh pendukung partai Vox. Intimidasi itu berawal dari keputusan WhatsApp membatasi penerusan pesan hanya satu kali, untuk menghentikan penyebaran informasi salah pada masa pandemi virus corona.

Kenapa pemeriksa fakta di Spanyol itu disalahkan?

Newtral dan Maldita adalah bagian dari Jaringan Pengecekan Fakta Internasional (IFCN), yang menerima dukungan sebesar satu juta dollar AS masing-masing dari WhatsApp serta Facebook. Dana itu disalurkan untuk membantu pemeriksa fakta "melawan" informasi salah terkait dengan COVID-19.

Pendukung Vox, yang merupakan partai sayap kanan di Spanyol, menganggap kebijakan perusahaan aplikasi pesan instan tersebut diambil lantaran ada campur-tangan Newtral dan Maldita. 

Padahal, dukungan dana itu tidak ada hubungannya dengan keputusan WhatsApp, sebagaimana dilaporkan Poynter.org dalam artikel berjudul "Spanish fact-checkers targeted after WhatsApp limits forwarding".

Sementara itu, laboratorium pemeriksa fakta milik Latvia, Re: Check, selama masa wabah virus corona jenis baru itu telah menyanggah tujuh teori konspirasi terkait COVID-19 yang menyasar negara-negara Baltica.

Pemeriksa fakta yang tergabung dengan IFCN dan sekaligus menjadi mitra Facebook itu, salah satunya membantah bahwa Latvia sebagai pencipta virus corona, seperti dikutip dari euvsdisinfo.eu dalam artikel "DISINFO: CORONAVIRUS COULD HAVE ORIGINATED FROM LATVIA".

Secara umum, pemeriksa fakta juga kerap diancam orang-orang yang artikelnya atau kontennya disanggah. Selain proses hukum, para pemeriksa fakta sering menjadi sasaran pelecehan, termasuk menerima ancaman kematian.

Cek fakta: Hoaks, Luhut minta Panglima TNI-Kapolri tangkap pemda yang lawan pemerintah pusat

Cek fakta: Peneliti Harvard jual virus penyebab COVID-19 ke China? Cek faktanya

Cek fakta: Hoaks, Jokowi bagikan sembako di Istana Bogor Sabtu malam

Pewarta: Tim JACX
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2020