Medan (ANTARA News) - Apabila Djoko Tjandra, terpidana perkara hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp546,468 miliar, benar berada di Singapura, maka ia akan sulit diekstradisi ke Indonesia karena belum adanya perjanjian ekstradisi kedua negara.

"Pihak aparat hukum akan mengalami kendala untuk membawa pulang terpidana yang telah ditetapkan menjadi buronan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) itu," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH di Medan, Senin.

Menurut Runtung, pelarian Djoko Tjandra sepertinya sudah dipersiapkan dengan matang karena Singapura dianggap paling aman sebagai persembunyian bagi orang yang menghadapi masalah hukum.

Ia mengatakan, negara Singapura selama ini dijadikan sebagai tempat "pelarian" bagi para koruptor dan orang yang tersangkut masalah hukum di Indonesia.

"Jadi tidak perlu heran, jika diketahui ternyata Djoko Tjandra itu juga berada di Singapura," kata Runtung yang juga Dekan Fakultas Hukum USU.

Selanjutnya, ia menjelaskan, karena tidak adanya perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan Singapura, tentu akan berdampak bagi tim dari Kejagung dalam menangkap terpidana itu.

Tim pemburu koruptor tidak bisa menjemput begitu saja atau membawa Djoko Tjandra dari Singapura.

Begitu juga pihak Mabes Polri yang meminta bantuan Interpol, juga hanya sia-sia saja dan tidak akan membuahkan hasil. Pemerintah Singapura tidak akan menanggapi masalah tersebut.

Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan cara menghubungi pihak Kedubes RI di Singapura dan meminta kepada pemerintah negara itu untuk mempertanyakan keberadaan Djoko.

Djoko Tjandra diharapkan dengan penuh kesadaran yang tinggi dapat kembali ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya itu, kata Runtung.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009