Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan siap melindungi warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi anak buah kapal (ABK) penangkap ikan berbendera China bernama Long Xing, yang diduga mengalami pelanggaran HAM dan perbudakan.

Ketua LPSK Hasto Atmojo mengatakan pihaknya akan melakukan tindakan proaktif dalam kasus ini, bekerja sama dengan pihak Kementerian Luar Negeri dan kepolisian, guna memberikan perlindungan kepada ABK WNI, mulai dari pemulangan ke Tanah Air hingga pendampingan proses hukum.

“Sebagai langkah awal, LPSK akan turut serta menjemput sejumlah ABK yang pulang ke Indonesia, besok, Jumat, (8/5) ke bandara” ujar Hasto dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Menlu paparkan rincian perkara 46 ABK WNI di kapal berbendera China

Hasto mengatakan, LPSK telah beberapa kali menerima permohonan perlindungan untuk korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), seperti kasus perbudakan di Benjina, Maluku, pada medio 2015 lalu yang juga ditangani oleh LPSK. Kasus ini sempat menyita perhatian publik, bahkan hingga di luar negeri.

Menurut Hasto, tragedi yang dialami oleh para ABK WNI di kapal China tersebut menunjukkan adanya indikasi TPPO.

Untuk itu, dia berharap agar kepolisian dapat menelusuri pihak atau perusahaan yang melakukan perekrutan dan menyalurkan para ABK ke kapal China itu, serta mengambil tindakan tegas bila terbukti adanya pelanggaran pidana.

Baca juga: Kemlu akan panggil Dubes China terkait perlakuan terhadap WNI ABK

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan kasus TPPO yang menyasar ABK bukan kali pertama terjadi. Selain kasus di Benjina, LPSK pernah beberapa kasus TPPO yang peristiwanya mirip dengan apa yang terjadi dengan ABK di kapal Long Xing, di antaranya kasus di Jepang, Somalia, Korea Selatan, dan Belanda.

Menurut catatan akhir tahun LPSK 2019, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO menempati posisi empat besar setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme, dan pelanggaran HAM berat.

“Pada tahun 2018, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO berjumlah 109, sedangkan pada tahun 2019 naik menjadi 162 permohonan. Sedangkan ihwal jumlah terlindung, pada 2018 terdapat 186 terlindung kasus TPPO, naik menjadi 318 terlindung pada tahun 2019” kata Edwin.

Baca juga: MPR kecam dugaan pelanggaran HAM terhadap ABK WNI di kapal RRT

Dia mengatakan, berdasarkan pengalaman LPSK melakukan investigasi kasus TPPO, khususnya pada sektor kelautan dan perikanan, ditemukan fakta banyaknya perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh para korban.

Umumnya, kata dia, para korban mengalami tindak penipuan dalam proses rekrutmen, pemalsuan identitas, jam kerja yang melebihi aturan, tindakan kekerasan dan penganiayaan, penyekapan, gaji yang tidak layak, hingga ancaman pembunuhan.

Baca juga: DPR minta Pemerintah lindungi dan dampingi ABK WNI yang masih hidup

“Kami pernah mendengarkan pengakuan korban yang tidak mendapatkan air minum yang layak. Mereka terpaksa minum air laut yang disaring, bahkan ada yang meminum air AC,” ucap Edwin.

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020