kepuasan para pihak kurang karena karena adaptasi dari tidak ada touching
Jakarta (ANTARA) - Komisioner advokasi perempuan dan anak menyebut kecepatan penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) melalui pusat layanan bantuan publik, seperti rumah aman, terkendala saat COVID-19.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati mengatakan lembaga pelayanan bagi anak juga melambat karena kantor-kantor yang ada tidak buka secara langsung sehingga saat memproses keterangan menjadi lambat.

"Pemberian surat bebas COVID-19 juga melambat. Penampungan bagi anak juga tidak bisa semua masuk," kata Rita dalam diskusi virtual "Efektivitas Layanan Pengaduan Perempuan dan Anak Selama Pandemi COVID-19", Kamis.

Dia mencontohkan fasilitas layanan bagi anak seperti Pusat Pembelajaran Keluarga (Pupspaga) dan Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidak dapat melayani sebagaimana di hari biasa saat tidak ada wabah.

Dengan begitu, kata dia, berbagai fasilitas ramah anak itu tidak mudah diakses. Terlebih terdapat fenomena pekerja sosial yang turun ke lapangan mereka justru terinfeksi COVID-19 sehingga terjadi perlambatan pelayanan.

Baca juga: MPR minta pemerintah berikan bantuan korban KDRT di masa pandemiBaca juga: Polres Cianjur: Laporan pelecehan seksual meningkat saat KLB COVID-19

Banyak layanan bagi anak, lanjut dia, dilakukan secara daring. Melalui daring tetap ada layanan tetapi kualitas pelayanan akan berbeda jika dibanding bertemu tatap muka langsung.

"Secara online ini, kepuasan para pihak kurang karena karena adaptasi dari tidak ada touching, kalau ketemu langsung ada emosi yang bisa ditangkap dan lewat telpon atau WhatsApp tidak cukup," katanya.

Untuk visum kasus kekerasan pada anak, kata Rita, sulit dilakukan terutama di daerah. Dia mencontohkan kasus kekerasan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, mereka tidak dapat menjangkau layanan pemerintah provinsi karena sektor transportasi perhubungan laut tidak beroperasi sehingga warga setempat tidak dapat keluar pulau.

Pelayanan trauma bagi anak, kata dia, juga tidak bisa dilakukan seperti sistem bekerja dari rumah karena anak terkait terkadang mengalami kekerasan yang dekat dengan rumahnya. Selain juga terapi psikologi tidak bisa dilakukan keluarga.

"Anak korban kekerasan tidak mungkin dipulangkan karena rumah pelaku bisa saja dekat. Konseling sudah bisa daring tapi tapi pada kasus tertentu membutuhkan penanganan khusus psikologi dengan keluarganya tidak bisa menangani," katanya.

Baca juga: Polisi Inggris peringatkan peningkatan ancaman seksual anak saat wabah
Baca juga: Kemensos dan Unicef kerja sama lindungi anak dari COVID-19


Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshori mengatakan wabah COVID-19 juga memperlambat pencegahan dan penanganan KDRT pada perempuan.

"Belum ada ada protokol rumah aman apa bisa diakses selama wabah COVID-19," kata Maria.

Menurut dia, rumah aman untuk layanan pengaduan itu tidak bisa diakses dengan mudah oleh perempuan. Selain itu, ketika korban KDRT perempuan ini memerlukan penanganan medis mereka belum jelas ke fasilitas kesehatan mana yang dapat cepat diakses.

Maria mengatakan akses ke rumah aman terbatas. Selain itu, untuk mengaksesnya memerlukan birokrasi dengan mendapatkan surat bebas COVID-19.

"Jika surat keluar juga harus dipastikan pembuatannya tidak memakan waktu. Ketika mendapat rumah aman, ini tidak ada rujukan mereka harus ke mana. Rumah aman belum memberi pilihan kepada korban KDRT dan kekerasan berbasis gender di ranah online (KBGO)," katanya.

Baik Rita dan Maria sepakat jika harus ada solusi untuk percepatan penanganan kekerasan tersebut sehingga perempuan dan anak Indonesia dapat terlindungi.

Baca juga: POGI Jaya serukan perlindungan bagi ibu dan anak dari COVID-19
Baca juga: KPPPA sebut kekerasan pada anak meningkat selama pandemi

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020