Dalam proses penerimaan "new normal" memungkinkan seseorang untuk menolak beradaptasi, yang akhirnya akan jadi stress.
Denpasar (ANTARA) - Psikolog Klinis Dian Selaras Layanan Psikologi Bali, Ida Ayu Saraswati Indraharsani mengatakan bahwa proses beradaptasi seseorang dalam penerapan "new normal" dapat mempengaruhi kesehatan mental.

"Dalam menghadapi era new normal itu, banyak tantangan yang harus dihadapi masyarakat salah satunya adalah beradaptasi dengan kebiasaan baru. Ketika mereka tidak terbiasa dengan kondisi baru yang harus dihadapi, itu dapat menimbulkan stress karena penolakan terhadap kondisi itu. Dalam proses penerimaan new normal itu memungkinkan seseorang untuk menolak beradaptasi, yang akhirnya akan jadi stress," kata Saraswati saat dihubungi melalui telepon di Denpasar, Senin.

Ia menjelaskan bahwa dalam beradaptasi pasti tidak mudah, karena ada beberapa proses penolakan terhadap kebiasaan - kebiasaan baru yang harus dijalani. Salah satunya muncul ketidaksenangan untuk menjalankan kebiasaan-kebiasaan baru itu, sampai akhirnya pada tahap menerima kondisi dan mau menjalankan kebiasaan baru tersebut.

Baca juga: PDIB: Protokol kesehatan jadi pola hidup sehari-hari "new normal"

Proses beradaptasi setiap orang berbeda-beda tergantung dari persepsi dan kemampuan individu untuk menerima situasi. Ia mengatakan proses untuk menjadikan suatu perilaku agar menjadi kebiasaan itu butuh waktu, ada yang mudah beradaptasi dan ada juga yang lebih lambat.

Saraswati yang juga psikolog di Lembaga Pelindungan Perempuan dan Anak, Kabupaten Badung, menjelaskan kesehatan mental adalah kondisi yang baik tentang pikiran, perasaan, dan perilaku sehingga seseorang mampu untuk menjalani suatu situasi dan mengoptimalkan kapasitas diri yang dimiliki.

Dalam proses penerimaan "new normal" memungkinkan seseorang untuk menolak beradaptasi, yang akhirnya akan jadi stress. Selain itu, kesehatan mental bukan sekedar kejiwaannya normal atau tidak, tapi kesehatan mental itu tentang kemampuan berpikir yang rasional, untuk mengekspresikan emosi yang dirasa dan berperilaku tepat dengan kondisi yang hadapi.

Baca juga: TP-Link Indonesia siap dukung New Normal COVID-19

"Tidak mudah melihat definisi kesehatan mental karena kasat mata, engga kayak kesehatan fisik yang bisa terlihat langsung, tapi sama kayak orang sakit fisik yang butuh waktu untuk sembuh, gitu jg kesehatan mental,"katanya.

Sementara itu, terkait dengan penerapan new normal sudah banyak pihak yang membahas, hanya saja penerapannya masih belum digambarkan secara jelas. New normal yang diterapkan saat ini masih berpusat untuk pencegahan penyebaran pandemi.

"Dengan adanya new normal ini lama-lama bisa menjadi gaya hidup, misalnya pergi kemanapun harus kalau ada di kerumunan orang kita akan pake masker, sehabis pergi atau menyentuh barang-barang di publik area kita akan selalu cuci tangan, atau langsung mandi sebelum kumpul sama keluarga,"ucap Saraswati.

Selain itu, akan ada serapan tekonolgi yang membuat semakin kreatif berinovasi untuk teknologi-teknologi baru yang bisa diterapkan, karena di dunia ini diciptakan ada hal yang baik dan buruk, new normal ini pun punya dua sisi itu.

Baca juga: Optimalisasi teknologi digital dukung hidup "new normal"

Pewarta: Ayu Khania Pranishita
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020