Mogadishu (ANTARA News/Reuters) - Gerilyawan Somalia hari Minggu menolak seruan gencatan senjata pemerintah selama bulan suci Ramadhan dan menuduh presiden berusaha menggunakan agama sebagai dalih untuk mempersenjatai lagi pasukan.

Presiden Sheikh Sharif Ahmed, seorang mantan gerilyawan Islamis, menyerukan diakhirinya pertempuran selama Ramadhan untuk memungkinkan rakyat bisa beribadah.

"Kami tidak akan menyetujui seruan gencatan senjata itu. Bulan suci ini akan menjadi waktu kejayaan bagi mujahidin dan kami akan memerangi musuh," kata pemimpin kelompok Hizbul Islam, Sheik Hassan Dahir Aweys, pada jumpa pers.

Badan-badan keamanan Barat mengatakan bahwa Somalia, yang dilanda perang saudara selama 18 tahun terakhir, menjadi tempat persembunyian bagi militan yang merencanakan serangan-serangan di negara Tanduk Afrika tersebut dan di luar kawasan itu.

Seorang komandan regional kelompok gerilya al-Shabaab mempertanyakan seruan pemerintah bagi gencatan senjata dan berjanji akan meningkatkan serangan-serangan.

"Kami akan melipatgandakan perang terhadap orang kafir. Seruan (presiden) tidak berarti ia telah menghormati Ramadhan, namun itu dirancang untuk mempersenjatai lagi milisinya yang didukung Barat," kata Bare Adan Khoje, komandan Shabaab untuk wilayah Gedo Baratdaya.

Sedikitnya 11 orang tewas dan 22 lain cedera pada hari pertama puasa ketika gerilyawan menyerang posisi-posisi pemerintah di Mogadishu, ibukota Somalia, kata Menteri Pertahanan Yusuf Mohamed kepada Reuters.

"Mereka menyerang posisi-posisi kami pada Sabtu malam dan kami memberi mereka pelajaran. Mayat mereka bergeletakan di jalan," kata Mohamed.

Lebih dari 100 orang tewas dalam sepekan ini di berbagai daerah Somalia dalam bentrokan-bentrokan antara milisi pro-pemerintah dan gerilyawan.

Kekerasan di Somalia telah menewaskan lebih dari 18.000 orang dalam dua tahun terakhir dan membuat satu juta orang mengungsi.

Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Penculikan, kekerasan mematikan dan perompakan melanda negara tersebut.

Sejak awal 2007, gerilyawan menggunakan taktik bergaya Irak, termasuk serangan-serangan bom dan pembunuhan pejabat, pekerja bantuan, intelektual dan prajurit Ethiopia.

Ribuan orang tewas dan sekitar satu juta orang hidup di tempat-tempat pengungsian di dalam negeri akibat konflik tersebut.

Pemerintah sementara telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan sejumlah tokoh oposisi, namun kesepakatan itu ditolak oleh al-Shabaab dan kelompok-kelompok lain oposisi yang berhaluan keras.

Washington menyebut al-Shabaab sebagai sebuah organisasi teroris yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Gerilyawan muslim garis keras, yang meluncurkan ofensif sejak 7 Mei untuk menggulingkan pemerintah sementara dukungan PBB yang dipimpin oleh tokoh moderat Sharif Ahmed, meningkatkan serangan-serangan mereka.

Tiga pejabat penting tewas dalam beberapa hari, yang mencakup seorang anggota parlemen, seorang komandan kepolisian Mogadishu dan seorang menteri yang terbunuh dalam serangan bom bunuh diri.

Selain pemberontakan berdarah, pemerintah Somalia juga menghadapi rangkaian perompakan di lepas pantai negara itu.

Pemerintah transisi lemah Somalia tidak mampu menghentikan aksi perompak yang membajak kapal-kapal dan menuntut uang tebusan bagi pembebasan kapal-kapal itu dan awak mereka.

Perompak, yang bersenjatakan granat roket dan senapan otomatis, menggunakan kapal-kapal cepat untuk memburu sasaran mereka.

Perairan di lepas pantai Somalia merupakan tempat paling rawan pembajakan di dunia, dan Biro Maritim Internasional melaporkan 24 serangan di kawasan itu antara April dan Juni tahun lalu saja.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009