Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang diajukan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat, serta perorangan anak Indonesia, yakni, Alfie Sekar Nadia dan Faza Ibnu Ubaydillah.

"Menyatakan permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya," kata pimpinan majelis hakim konstitusi, Moh Mahfud MD, dalam sidang putusan pengujian UU Penyiaran, di Gedung MK, Jakarta, Kamis.

Pemohon menyatakan Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran sepanjang frasa "yang memperagakan wujud rokok" bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945.

Pemohon beralasan membolehkan iklan promosi rokok itu bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945 karena bahan yang terdapat dalam rokok, adalah, zat yang mengandung nikotin dan tar serta zat lain yang bersifat adiktif dan membahayakan hidup dan kehidupan setiap orang apalagi anak-anak yang masih rawan dan sedang dalam pertumbuhan.

Dalam kesimpulan, majelis hakim menyatakan bahwa rokok masih dipandang sebagai komoditas yang legal, sehingga promosi rokok harus tetap dipandang sebagai tindakan legal.

"Sementara pengaturan siaran iklan rokok lebih merupakan aturan kebijakan dan terjadinya pelanggaran dalam siaran niaga rokok, lebih berkaitan dengan penegakan hukum," kata Moh Mahfud MD.

"Serta tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma, oleh karenanya dalil-dalil para pemohon tidak berdasar dan tidak beralasan hukum," katanya.

Majelis hakim menyatakan menyangkut persoalan penegakan hukum itu, mekanisme hukumnya, yakni, melalui sanksi pidana atas pelanggaran terhadap Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran, yakni, dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 miliar.

Terkait pernyataan iklan rokok merupakan manipulasi yang menyesatkan, majelis berpendapat bahwa meski masih banyak iklan rokok yang melanggar aturan jam tayang dan melanggar etika.

"Namun hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan pelaksanaan dari suatu peraturan, terlebih lagi kalau dikaji secara mendalam iklan apa pun sebenarnya melanggar etika karena selalu menyampaikan hal-hal yang menggiurkan konsumen," katanya.

Akan tetapi, majelis hakim menambahkan Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran junto Pasal 17 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2003, telah memberikan pembatasan yang sangat ketat yang salah satunya adalah adanya larangan memperagakan wujud rokok.

"Karenanya selama promosi rokok tetap tunduk pada peraturan yang berlaku, maka promosi rokok haruslah dibenarkan," katanya.

Sementara itu, terdapat empat hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan tersebut.

Keempat hakim itu, yakni, Maruarar Siahaan, Muhammad Alim, Harjono, dan Achmad Sodiki. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009