Jakarta (ANTARA) - Direktur Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (Lasina) Tohadi menegaskan putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan gugatan pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno Rachmawati Soekarnoputri dan kawan-kawan terhadap PKPU Nomor 5/2019 tidak memiliki implikasi yuridis terhadap Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019.

"Putusan MA tersebut tidak memiliki implikasi yuridis pada ketidakabsahan paslon (pasangan calon) presiden dan wakil presiden terpilih," kata Tohadi, melalui pernyataan tertulis, di Jakarta, Rabu.

Rachmawati Soekarnoputri dkk diputuskan menang melawan KPU di MA terkait Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.

Putusan MA tersebut telah diketok oleh Ketua Majelis Supandi pada 20 Oktober 2019, namun baru dipublikasikan pada pekan ini.

Pada putusan tersebut MA menyebutkan bahwa pasal dalam PKPU itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang tentang Pemilihan Umum.

Tohadi menyampaikan beberapa argumen yang memperkuat, pertama bahwa Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 diputuskan pada tanggal 28 Oktober 2019, sedangkan penetapan paslon presiden dan wapres terpilih dilakukan pada tanggal 30 Juni 2019.

Jadi, kata pengajar tata negara Universitas Pamulang dan Universitas Presiden (President University) itu, putusan MA tersebut tidak berlaku surut dan diberlakukan pada peristiwa hukum sebelumnya.

Kedua, kata dia, norma hukum dalam Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 yang dinyatakan oleh Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum itu adalah merupakan tafsir konstitusional Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50/PUU-XII/2014 tanggal 3 Juli 2014 atas ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2014, lanjut dia, maka norma hukum yang ada Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 adalah konstitusional.

Baca juga: KPU tanggapi Putusan MA terkait PKPU 5 Tahun 2019

Dengan demikian, lanjut Tohadi, memang ada perbedaan penafsiran antara MK dengan MA dalam memahami dan menafsirkan ketentuan mengenai "Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia", sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.

MK menafsirkan jika hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 sehingga tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua.

Sedangkan MA dalam Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 menafsirkan norma hukum sebagaimana Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 berlaku untuk segala kondisi, termasuk dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon.

Tohadi menjelaskan lembaga negara yang menurut konstitusi diberikan kewenangan atributif untuk melakukan penafsiran atas konstitusi (the interpreter of constitution) maupun pengawal konstitusi (the guardian of constitution) MK sehingga sepanjang berkaitan dengan tafsir konstitusional harus merujuk dan memegangi pendapat hukum MK.

Pada saat yang sama, kata Tohadi, putusan MA tersebut tetap harus dihormati meskipun terdapat kelemahan di dalamnya dan tidak memiliki implikasi yuridis pada ketidakabsahan paslon presiden dan wakil presiden terpilih pada Pilpres 2019.

Baca juga: Jokowi yakini kenegarawanan Prabowo-Sandiaga

Baca juga: Sidang MK usai, Jokowi ajak rakyat bersatu bangun Indonesia

Baca juga: Pengamat : Saatnya Jokowi dorong rekonsiliasi kultural

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020