Jakarta (ANTARA) -
Survei yang dilakukan oleh New Indonesia Research dan Consulting menunjukkan sebagian besar publik menolak pelaksanaan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 di tengah pandemi Covid-19.
 
"Mayoritas publik sebanyak 80,5 persen menolak pilkada karena dikhawatirkan menjadi klaster baru Covid-19," kata Direktur Eksekutif New Indonesia Research & Consulting Andreas Nuryono dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis.
 
Menurut Andreas, publik lebih menginginkan pilkada ditunda hingga wabah Covid-19 bisa dikendalikan.
 
Sebagai catatan, pemerintah telah satu kali menunda pilkada dari jadwal sebelumnya pada 9 September 2020, dengan alasan yang sama.
 
Hanya ada 12,6 persen responden yang setuju pilkada tetap dilaksanakan sesuai jadwal, dan sisanya 6,9 persen tidak tahu/tidak menjawab.
 
"Kecilnya dukungan publik juga berpotensi menurunkan partisipasi pemilih atau meningkatkan golput," kata Andreas.
 
Meskipun golput tidak berpengaruh terhadap perhitungan suara, lanjut dia, tetapi besarnya penolakan publik terhadap pilkada di tengah wabah bisa menurunkan legitimasi terhadap kepala daerah terpilih.
 
Pemerintah, DPR, dan KPU, tambah dia, sebaiknya menjadwal ulang Pilkada 2020 dan menerbitkan Perppu.
 
"PKPU tentang protokol kesehatan dipandang tidak cukup efektif, sementara keselamatan rakyat harus dinomorsatukan," tutur Andreas.
 
Survei New Indonesia Research & Consulting dilakukan pada 15-25 September 2020, dengan sambungan telepon kepada 1200 orang responden yang dipilih acak dari survei sebelumnya sejak 2019. Margin of error ±2,89 persen, tingkat kepercayaan 95 persen.

Baca juga: Golkar gunakan lembaga survei jaring cakada di Pilkada 2020

Baca juga: Calon kepala daerah pilihan PKB tergantung survei langit dan bumi

Baca juga: PDIP Kalbar survei calon yang akan diusung pada Pilkada 2020

Baca juga: Survei: 16,3 persen daerah penyelenggara Pilkada berzona merah COVID
 

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020