... jaman edan, yen ora edan ora keduman...
Jakarta (ANTARA) -
Wakil Ketua MPR, Jazilul Fawaid, saat memperingati Hari Santri mendorong para santri agar dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) agar memjadi pelopor perubahan.
 
Dalam rilisnya di Jakarta, Jumat, dia mengatakan hal itu pada acara bertema "Kebangkitan Santri Dalam Mengawal Perubahan Dengan Nilai Kemandirian".
 
Di hadapan peserta acara peringatan Hari Santri, dia menuturkan peringatan kali ini tepat 75 tahun dideklarasikan Resolusi Jihad.
 
Resolusi Jihad merupakan seruan yang dinyatakan Rais Akbar NU, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, kepada umat Islam untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman agresi tentara Inggris dan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
 
Pria kelahiran Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, itu mengajak kepada semua khususnya para santri untuk tetap menggelorakan semangat Resolusi Jihad namun dalam konteks yang lain.
 
Semangat Resolusi Jihad menurutnya perlu ditanamkan kepada santri untuk belajar tekun dan sungguh-sungguh agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
 
"Menguasai Iptek inilah yang akan mengubah hidup dan kehidupan kita, perubahan bisa terjadi diawali dari diri sendiri. Pastinya perubahan yang kita inginkan adalah menuju kebaikan, untuk berubah pastinya perlu kesadaran," kata dia.

Baca juga: Kemarin, Hari Santri hingga antisipasi COVID-19 saat libur panjang
 
Untuk Gus Jazil mengajak para santri terus rajin dalam menuntut ilmu karena dengan menguasai Iptek maka hidup akan menjadi mulia. Oleh sebab itu dirinya mendorong santri agar mencintai Iptek.
 
Pentingnya mencintai Iptek, menurut Jazilul Fawaid mengutip pesan KH Hasyim Asy'ari karena waktu yang berlalu tak akan kembali, segera menuntut ilmu dan jangan terperdaya untuk menunda-nunda dan berangan-angan panjang waktu yang tak akan kembali.
 
"Nah, kebiasaan kita kan mengatakan tarsok-tarsok (entar dan besok), harus segera menuntut ilmu," tuturnya.
 
Ia mengakui generasi muda mendapat tantangan dari siaran televisi yang banyak menayangkan film, iklan, dan lain sebagainya yang semuanya bisa menyebabkan panjangnya angan-angan.

Baca juga: Gus Menteri ajak santri perkokoh tradisi pesantren di tengah pandemi
 
"Bila terlalu panjang angan-angan dan tak menguasai ilmu maka santri akan ketinggalan jaman," Jazilul Fawaid mengingatkan.
 
Bangsa ini kata dia harus maju dalam Iptek, santri harus jadi pelopor. Dengan menguasai Iptek maka santri tidak berada pada kelompok pinggiran. Ia berharap agar santri tidak mudah mengeluh apalagi suka menyalahkan orang lain. "
 
Santri dididik untuk mandiri. Momen Hari Santri sebagai momen kebangkitan," katanya.
 
Pentingnya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, kata dia, oleh sebab ia juga ingat ramalan sastrawan Jawa, Ronggowarsito. Ronggowarsito dalam ramalannya mengatakan akan tiba suatu masa yang disebut Kolotido atau zaman yang semuanya membingungkan.
 
"Pada masa itu antara hitam dan putih, benar dan salah, semua tidak jelas. Semua merasa benar," kata dia lagi.
 
Akibat yang demikian semua berada dalam zaman edan, zaman edan adalah zaman di mana bila seseorang ingin mendapatkan sesuatu maka jalan yang ditempuh adalah dengan menghalalkan segara cara.
 
Zaman edan ini, menurut dia, membuat orang berada pada pilihan yang sulit. Bila tidak edan, tidak menghalalkan segala cara, maka ia tidak akan mendapatkan sesuatu.

"Inilah jaman edan, yen ora edan ora keduman (kalau tidak menghalalkan segala cara tidak akan mendapatkan apa yang diinginkan)," tuturnya.

Baca juga: Platform digital karya santri diluncurkan di Kota Malang
 
Dalam zaman edan, menurut dia, dengan mengutip pesan Ronggowarsito pula, masih ada orang yang selamat.
 
"Yakni sak bejo-bejone wong edan isih bejo wong sing eling lan waspodo (seberuntung-untungnya orang yang lalai masih beruntung orang yang sadar dan ingat jati dirinya)," katanya.
 
Dari sinilah wakil ketua umum DPP PKB itu mengingatkan kepada semua untuk tetap sadar diri dan jangan ikut-ikut pada sesuatu yang tidak jelas.
 
Untuk menghindari zaman edan, dia memberi kiat atau cara melalui pesan dari Sunan Kalijaga lewat tembang Ilir-Ilir.
 
"Arti tembang itu membangunkan kita agar sadar. Nah kita mau sadar atau tidak, bila mau sadar, selanjutnya adalah bersemangat, bersemangat dalam menjalankan kehidupan akhirat dan duniawi, santri harus sadar dan bersemangat," tegasnya.
 
Ia membicarakan hal itu pada kegiatan yang dihadiri sekitar 200 orang, yang berkumpul di Rumah Rahlia, Kelurahan Bojong Sari Baru, Kecamatan Bojongsari, Depok, Jawa Barat.
 
Mereka yang berkumpul di sana terdiri para ulama, seniman, budayawan, santri, alumni santri, IPNU, IPPNU, GP Ansor, dan Banser. Mereka berkumpul di rumah yang berbentuk joglo untuk memperingati Hari Santri 22 Oktober.
 
Turut hadir pembina Rumah Dahlia, Yusra Amir, pendiri Marjinal, Muhamad Isrofil, pendiri Rumah Rahlia Indonesia, Mansyur Alfarisy, pembina Tasawuf Underground, KH Halim, pimpinan Pondok Pesantren Al kharimiyah, KH Ahmad Damanhuri, serta pimpinan Pondok Pesantren Al Azis, KH Robin.
 
Fawaid menyatakan, peringatan Hari Santri dilaksanakan di mana-mana di seluruh Indonesia, di Malang, Jawa Timur, peringatan Hari Santri ditandai dengan peluncuran santrinet.
 
Ia yang saat ini berada di Jakarta memperingati bersama dengan para santri, ulama, budayawan, seniman, dan generasi muda lainnya yang datang dari wilayah Jabodetabek.
 
“Perayaan dilakukan secara sederhana sebab masih dalam kondisi pandemi Covid-19, Allhamdulillah para peserta khususnya para santri antusias mengikuti dan ingin menjadikan Hari Santri menjadi pemicu semangat kebangkitan,” ujarnya.
 
Ia juga mengingatkan saat peringatan kali ini kita bisa bersenang-senang sebab bangsa ini sedang menghadapi agresi musuh yang bersenjata lengkap.
"Saat ini, 22 Oktober 2020, kita bisa bisa bersenang-senang tapi pada 22 Oktober 1945 rasa itu tidak ada," ucapnya.
 
Setelah bangsa berhasil mematahkan keinginan Belanda untuk menjajah kembali Indonesia, tugas kita kata dia adalah mempertahankan kemerdekaan NKRI. "Namun tidak lagi dengan mengangkat senjata," ungkapnya.
 
Ia menyatakan, proklamasi 17 Agustus 1945, resolusi jihad 22 Oktober 1945, dan pertempuran Surabaya 10 November 1945, merupakan rangkaian sejarah perjalanan bangsa dalam memproklamasikan dan nempertahankan kemerdekaan.
 

Pewarta: Boyke Watra
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020