Namun, ada sisi strategis dan penting negara perlu masuk, seperti mengatasi 'stunting' dan fakir miskin serta anak-anak telantar.
Jakarta (ANTARA) - Anggota DPR RI sekaligus salah satu pengusul Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga Netty Prasetiyani memandang perlu negara memperkuat ketahanan keluarga melalui sebuah undang-undang.

"Sadar atau tidak, negara banyak mengandalkan keluarga dalam berbagai hal. Misalnya, dalam mengatasi stunting, pasokan gizi dari keluarga, termasuk pembangunan karakter, moral, dan akhlak, negara mengandalkan keluarga," kata Netty dalam Rapat Panitia Kerja RUU Ketahanan Keluarga Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Jakarta, Senin.

Pada saat pandemi COVID-19, misalnya, banyak pekerjaan dan belajar dilakukan dari rumah sehingga peran keluarga sangat penting untuk keberhasilannya.

Menurut dia, seharusnya negara memberikan penguatan dan mengukuhkan agar keluarga kuat dalam menghadapi persoalan.

Baca juga: Anggota DPR nilai RUU Ketahanan Keluarga belum urgen

"Bicara ketahanan keluarga, selama ini kita lihat program pembangunan dengan melakukan pendekatan ke individu, seperti perempuan, anak, dan pemuda. Namun, ada institusi yang menentukan kemajuan dan kebaikan suatu bangsa, yaitu keluarga," ujarnya.

Kalau mau memperkuat bangsa Indonesia, lanjut dia, harus memperkuat institusi keluarga sehingga butuh RUU Ketahanan Keluarga yang termasuk lex specialis membahas keluarga.

Netty menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera sudah tidak berlaku. Undang-undang ini kemudian digantikan dengan UU No. 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

Namun, kata politikus PKS itu, undang-undang yang ada belum menyebutkan keterkaitan negara dalam memperkukuh peran keluarga dalam menghadapi persoalan.

"Oleh karena itu, kami tempatkan ketahanan keluarga dalam kondisi dinamis, keluarga harus tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan keragamannya sehingga berkontribusi dengan kemampuannya," kata Netty.

Dalam RUU Ketahanan Keluarga, menurut Netty, menghadirkan kebaruan atas yang dibutuhkan dalam penguatan keluarga karena diyakininya ketahanan nasional bisa dimulai dari institusi keluarga.

Menurut dia, kalau dilihat secara komprehensif, dalam RUU tersebut tidak ada klausul yang mengatur hal-hal privat oleh Negara.

Baca juga: Peneliti LIPI: RUU Ketahanan Keluarga tumpang tindih dengan UU lain

Dalam rapat tersebut, anggota Baleg DPR RI sekaligus salah satu pengusul RUU Ketahanan Keluarga Ali Taher Parasong mengatakan bahwa secara filosofis, yuridis, dan sosiologis perlu UU dalam kerangka penegakan hukum.

Ia menyebutkan banyak kasus perdagangan orang (human trafficking) menyisakan persoalan sosial dalam keluarga, misalnya perceraian yang meningkat.

Akibat perceraian di kabupaten rata-rata 300—500 orang bercerai per bulan, lalu di kota ada 100—200 orang bercerai per bulan, kata dia, menyisakan persoalan sosial pada perempuan, bahkan anak-anak.

"Hal itu berakibat pada masa depan mereka juga berdampak pada tumbuh kembang biologis dan jiwa anak-anak terdampak perceraian," katanya.

Kalau dikaitkan dengan peran negara yang dominan, kata Ali Taher Parasong, tidak semua diatur negara. Namun, ada sisi strategis dan penting negara perlu masuk, seperti mengatasi stunting dan fakir miskin serta anak-anak telantar.

Ali Taher yang juga anggota Fraksi PAN itu menilai secara konstitusional sudah baik. Namun, perlu penguatan peran masyarakat untuk meningkatkan kualitas ketahanan keluarga.

"Memang sudah ada UU lain secara parsial maka perlu UU khusus atau lex specialis agar ketahanan keluarga mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Oleh karena itu, perlu kepastian hukum sehingga keluar RUU ini. Hal ini untuk mempersiapkan generasi emas Indonesia," katanya.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020