Jakarta (ANTARA) - Laman The Digital Reader yang didukung oleh Amazon pada 10 November 2020 merilis infografik Kebiasaan Membaca Dunia 2020.

Terdapat beberapa sorotan dari infografis tersebut yang menarik untuk dicermati. Misalnya, dalam soal waktu yang dihabiskan untuk membaca per minggu.

Dari 22 negara negara yang diperingkat, India disebutkan membaca lebih banyak dari negara lain, mereka membaca rata-rata 10 jam 42 menit dalam pekan. Diikuti oleh Thailand pada peringkat kedua, dengan lama waktu membaca 9 jam 24 menit dalam sepekan. Cina menduduki peringkat ketiga dengan lama membaca rata-rata 8 jam dalam sepekan.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia menduduki peringkat ke-16 dengan lama waktu membaca rata-rata 6 jam dalam sepekan. Peringkat Indonesia di atas Argentina yang memiliki waktu rata-rata membaca 5 jam 54 menit dalam sepekan.

Negara yang dipandang maju seperti Kanada bahkan di peringkat 20 dengan lama membaca rata-rata 5 jam 48 menit per pekan, Jerman dengan rata-rata 5 jam 42 menit yang sama dengan Amerika Serikat.

Peringkat Indonesia ini jika dibanding dengan hasil riset serupa dari NOP WorldCulture Index Score pada tahun 2018, kegemaran membaca masyarakat Indonesia berada pada urutan ke-17 dari 30 negara yang diriset.

Artinya, pada situasi pandemi di tahun 2020 ini peringkat membaca Indonesia naik, namun tingkat rata-rata membaca tetap, yakni 6 jam per pekan. Lihat perbandingan di bawah, sebelah kiri riset tahun 2018 dan sebelah kanan tahun 2020.

Namun, jika dicermati infografik yang dirilis oleh The Digital Reader di atas menunjukkan temuan menarik, bahwa 35 persen orang di dunia membaca lebih banyak karena COVID-19.

Barangkali ini erat kaitannya dengan aktivitas masyarakat yang serba terbatas di masa pandemi COVID-19, lalu menjadikan membaca sebagai aktivitas pilihan.

Hal ini senada dengan yang dilaporkan oleh Perpustakaan Nasional pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X DPR RI, tanggal 16 April 2020, bahwa selama masa pandemi Covid-19 pengguna perpustakaan digital IPusnas per pekan naik 130 persen.

Baca juga: Perpusnas diminta DPR permudah akses membaca di kawasan 3T

Baca juga: Room to Read gandeng komunitas dan relawan perkuat kebiasaan membaca


Buku saat pandemi

The Digital Reader melaporkan bahwa selama pandemi buku-buku roman adalah genre pilihan terbanyak dibaca. Bahkan, sepertiga dari semua buku fiksi di pasar umumnya adalah novel roman.

Hal serupa dilaporkan oleh Perpustakaan Nasional selama masa pandemi kategori buku paling populer dibaca melalui perpustakaan digital iPusnas adalah fiksi.

Peringkat kedua buku-buku berkategori Pendidikan, dan ketiga buku-buku kategori bisnis dan ekonomi. Nampaknya dalam situasi pandemi membaca buku-buku novel roman atau fiksi dapat menjadi penghiburan sekaligus meningkatkan imunitas tubuh.

Membaca menurut hasil riset terbaru (2020) dapat mengurangi stres sampai 68 persen, mengembangkan kecakapan analitik, meningkatkan daya ingat dan konsentrasi, mengurangi tekanan darah, kepikunan dan demensia, menambah perbendaharaan kata dan memperbaiki kemampuan menulis.

Tak heran dalam laporan The Digital Reader disebutkan bahwa secara global pengguna internet lebih banyak membaca (35 persen), dan 14 persen membaca lebih banyak buku secara signifikan.

Perilaku membaca masyarakat secara global berubah. Polarisasi kalangan pembaca pun menujukan perubahan yang menarik. Misalnya, dilaporkan bahwa membaca buku tak lagi didominasi oleh Generasi Baby Boomers (28 persen), bahkan mereka diungguli jauh oleh Generasi Milenial (40 persen), lalu Generasi Z menempati 34 persen dan Generasi X sebanyak 31 persen.

Pandemi berdampak pada dunia Pendidikan secara global. Lebih dari 1.3 miliar anak-anak di dunia tidak bisa ke sekolah karena virus Corona. Dampaknya 90 persen siswa belajar mandiri dari rumah. Berkah dari situasi ini ialah naiknya buku-buku Pendidikan.

Data terbaru memperlihatkan penjualan buku genre edukasi dan anak-anak naik sampai 234 persen di Inggris. Sedangkan buku fiksi naik sampai 30. Ini menjadi lonjakan ketiga tertinggi sepanjang bulan Maret 2020, menurut laporan BBC. Di Amerika Serikat, penjualan buku anak-anak nonfiksi naik sampai 66 persen di bulan yang sama.

Menurut data yang dilansir oleh NPD Group, sebuah perusahaan data dan konsultansi konsumen yang beroperasi di 20 negara dengan 2000 klien, hal ini terutama didorong oleh kategori buku yang berfokus pada pendidikan dan kegiatan anak-anak yang naik 128 persen, alat bantu belajar (naik 235 persen), buku sekolah dan pendidikan (naik 143 persen) dan buku seni bahasa (naik 265 persen) (Viva, 2/5/2020).

Anjuran bahkan perintah untuk stay at home yang berlaku di hampir seluruh dunia, telah membuat kegiatan membaca menjadi booming. Ini dikatakan oleh Presiden International Publisher Association, Hogo Setzer, seperti dilaporkan oleh laman World Economic Forum, pada 30 April 2020.

Buku dan membaca, kini menjadi pelarian yang ideal dari kungkungan tembok di sekitar. Di tengah pandemi ini, dengan membaca, manusia mencoba memahami apa yang terjadi di sekitar mereka, bagaimana mengatasinya dan membuat kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.

Pada saat yang sama, orangtua yang berusaha membantu anak-anak mereka belajar di rumah, mulai lagi menoleh ke sumber-sumber edukasi yang ada. Sebagian menoleh ke sumber-sumber daring (online), namun tidak sedikit berfokus ke buku-buku konvensional.

Baca juga: Kegiatan membaca bersama dekatkan hubungan orang tua dan anak

Baca juga: Pimpinan dan warga kampus UI membaca puisi kemerdekaan secara daring


Penerbitan buku

Pada laporan The Digital Reader, tampak kebiasaan membaca yang meningkat di masa pandemi Covid-19, sayangnya tidak berbanding lurus dengan tingkat penjualan buku.

Secara umum penjualan buku dunia menurun karena COVID-19. Fenomena yang menarik ialah tingkat pembelian buku cetak oleh masyarakat masih lebih tinggi dibandingkan pembelian eBook atau buku audio. Sedang, faktanya selama pandemi covid-19 berkecamuk tingkat aktifitas sehari-hari masyarakat lebih banyak dilakukan secara daring dari rumah.

Meskipun kondisi penjualan buku selama pandemi COVID-91 di Indonesia sama menurunnya. Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia di 100 perusahaan penerbitan buku menyebutkan, selama masa pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, sebanyak 58,2 persen penerbit mengalami penurunan penjualan lebih dari 50 persen.

Sedangkan 29,6 persen penerbit lainnya mengalami penurunan penjualan 31-50 persen, terdapat 8,2 persen penerbit mengalami penurunan 10-30 persen dan hanya 4,1 persen penerbit yang penjualannya stabil seperti hari-hari biasa.

Namun, IKAPI menyebutkan bahwa penjualan buku melalui platform daring Indonesia justru berpeluang ditingkatkan (Kompas, 17/05/2020).

Data dari The Digital Reader menyebutkan bahwa negara tertinggi memproduksi buku per tahun adalah China, yakni 440.00 judul per tahun. Disusul kemudian Amerika Serikat 304.912 judul per tahun lalu Inggris dengan 184.000 judul per tahun. India berada pada peringkat ke-7 dunia dengan terbitan 90.000 judul per tahun.

Indonesia kemungkinan besar berada di peringkat selanjutnya, mengingat data Perpustakaan Nasional menunjukkan jumlah terbitan rata-rata Indonesia 81.714 judul per tahun.

Jumlah terbitan per tahun ini tentu masih sangat kurang memadai dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020. Pada tahun ini Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat dunia, setelah China, India dan Amerika Serikat (Databoks, 16/12/2019).

Lesunya penerbitan selama masa pandemi dialami penerbit dan organisasi bidang perbukuan dunia. Karena itu, International Publishers Association (IPA), International Authors Forum (IAF), European and International Booksellers Federation (EIBF), International Federation of Reproduction Rights Organisations (IFRRO), dan organisasi penerbit buku sains, teknologi, dan medis mendesak negara-negara di dunia untuk menghargai, mendukung, dan menggelorakan pentingnya buku.

Di Indonesia ajakan untuk membaca buku diungkapkan Presiden RI Joko Widodo melalui akun instagramnya. Ahad, 17 Mei 2020, Jokowi mengatakan; “Menjalani hari-hari di tengah pandemi Covid-19 ini kita semua hidup dalam keterbatasan. Kegiatan terbatas, pertemuan terbatas, bahkan ruang gerak terbatas. Saat-saat seperti inilah kita lebih punya waktu untuk membaca buku, baik buku fisik maupun buku digital," kata Jokowi.

Revitalisasi membaca dan pandemi Covid-19
Tingkat literasi masyarakat suatu bangsa memiliki hubungan yang vertikal terhadap kualitas bangsa. Tinggi-rendahnya literasi akan mempengaruhi produktivitas serta kesejahteraan suatu bangsa.

Prasyarat mutlak terwujudnya kemampuan literasi adalah membaca. Tingkat kegemaran membaca seseorang akan mempengaruhi wawasan, mental serta perilaku seseorang.

Dalam masa pandemi Covid-19 ini kemampuan literasi mempengaruhi apakah informasi kesehatan dapat diterima lebih baik oleh masyarakat sehingga mampu menekan jumlah korban.

Negara dengan nilai rata-rata tingkat literasi yang lebih rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk terserang pandemi dibandingkan negara lainnya.

Sebaliknya, masyarakat dengan kemampuan literasi yang lebih tinggi cenderung akan lebih sadar terhadap rentannya kondisi pandemi. Mereka akan mampu mendeteksi gejala secara mandiri, mengantisipasi berbagai kemungkinan munculnya resiko, mampu berpikir positif bahkan tetap produktif di masa pandemi.

Pemulihan sosial ekonomi masyarakat dampak pandemi akan lebih cepat dengan adanya pusat-pusat layanan literasi sampai ke tingkat desa.

Perpustakaan desa dan pustakawan dapat berperan dalam transformasi pengetahuan dan pemberdayaan berbagai potensi masyarakat berbasis pengetahuan. Tetap semangat, salam literasi…!

*) Dr. Joko Santoso, M.Hum adalah Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan, Perpustakaan Nasional RI

Baca juga: Mata Air selenggarakan lomba membaca dengan hadiah Rp60 juta

Baca juga: Perpusnas: PJJ peluang tingkatkan kegemaran membaca

Copyright © ANTARA 2020