Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian terus mendorong optimalisasi pengembangan industri obat tradisional fitofarmaka karena bisa memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional.

"Indonesia harus meningkatkan kualitas dan daya saing produk, serta menerapkan strategi pemasaran yang tepat. Sebab peluang pasar produk obat tradisional dan obat herbal, paling tidak di wilayah Asia, masih terbuka lebar," kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Muhammad Khayam pada webinar bertajuk "Efek COVID-19, Urgensi Ketahanan Sektor Kesehatan", Senin.

Berdasarkan pengelompokkannya, obat bahan alam dibagi menjadi tiga golongan yakni jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Fitofarmaka adalah obat dari bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik.

Baca juga: Menristek sebut belum ada fanatisme atas produk herbal asli Indonesia

Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) tahun 2020, terdapat 129 industri obat tradisional, dengan 22 perusahaan yang telah memproduksi obat herbal terstandar (OHT). Lima perusahaan di antaranya telah mengembangkan fitofarmaka. Selebihnya, tergolong dalam industri ekstrak bahan alam.

"Saat ini, yang telah terdaftar di Badan POM sekitar 11 ribu produk jamu, tetapi yang merupakan produk OMAI sejumlah 23 produk fitofarmaka dan 69 OHT," imbuh Khayam.

Dengan potensi yang begitu besar, Kemenperin tengah menyusun draft Rencana Aksi Pengembangan Industri Fitofarmaka. Rencana Aksi tersebut diharapkan menjadi panduan untuk peningkatan industri farmasi agar mampu secara mandiri menghasilkan obat untuk kebutuhan nasional yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan manfaat, terjangkau oleh masyarakat.

Baca juga: Kepala LIPI sebut keterlibatan swasta cara cepat hasilkan fitofarmaka

"Pengembangan OMAI membutuhkan sinergi dari semua pemangku kepentingan, mulai dari petani yang menghasilkan bahan baku yang bagus dan terstandar, peneliti, pelaku industri, pemangku kepentingan hingga masyarakat sebagai konsumen," tutur Khayam.

Oleh karena itu, langkah strategis yang perlu dilakukan adalah pengembangan bahan baku obat dalam negeri. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk menjaga ketahanan nasional di bidang obat.

"Pandemi ini mengajarkan bahwa akan sangat riskan bagi suatu negara sebesar Indonesia apabila membiarkan ketergantungan industri farmasi dalam negeri terhadap bahan baku obat impor," ungkapnya.

Salah satu kebijakan yang perlu dilaksanakan adalah pengembangan industri bahan baku obat dengan memperkuat struktur manufaktur industri farmasi di dalam negeri, antara lain dengan memacu kegiatan riset untuk menciptakan inovasi produk industri farmasi di sektor hulu atau produsen bahan baku.

"Dengan terintegrasinya sektor hulu dan hilir, nilai tambah produk farmasi akan semakin meningkat. Selain itu, pengembangan sektor hulu juga mendukung substitusi impor bahan baku yang dapat menekan defisit neraca dagang di sektor industri farmasi," paparnya.

Guna menarik investasi di sektor tersebut, pemerintah memberikan fasilitas kepada para penanam modal di Indonesia, antara lain melalui pemberian berbagai insentif fiskal maupun nonfiskal.

"Pemerintah akan memberikan dukungan fiskal terhadap pertumbuhan industri farmasi melalui tax allowance, tax holiday, serta super tax deduction, yang diberikan bagi industri yang terlibat dalam program vokasi dan inovasi melalui kegiatan riset," terangnya.

Sementara itu, untuk pemberian insentif nonfiskal, di antaranya adalah program pelatihan dan sertifikasi SDM, penerapan Objek Vital Nasional Sektor Industri (OVNI), sertifikasi standar dan kegiatan litbang bagi industri kecil menengah (IKM), pembangunan infrastruktur industri, dukungan promosi, serta konsultasi bantuan hukum dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020