Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia dan Jepang sepakat bahwa otoritas militer di Myanmar perlu memulihkan pemerintahan yang demokratis, melepaskan tahanan politik, dan menjamin keselamatan warga sipil setelah adanya kudeta terhadap presiden dan penasihat negara itu pada 1 Februari 2021.

Sikap itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Jepang Motegi Toshimitsu dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi saat keduanya berbicara melalui sambungan telepon, Rabu malam, demikian informasi dari Kedutaan Besar Jepang lewat pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Lewat pembicaraan yang berlangsung selama 20 menit, Indonesia dan Jepang sepakat untuk bekerja sama memantau dan mendorong adanya penyelesaian terhadap situasi di Myanmar.

"Menteri Luar Negeri Motegi telah menyampaikan kebijakan Jepang, yaitu Jepang tetap meminta tentara Myanmar secara tegas menghindari kekerasan terhadap masyarakat sipil, memulihkan sistem politik secara demokratis, serta membebaskan pihak-pihak yang ditahan, antara lain Penasihat Negara Aung San Suu Kyi," terang pihak kedutaan menjelaskan isi percakapan dua menteri.

Sementara itu, Retno, sebagaimana dikutip dari sumber yang sama, menyampaikan keselamatan warga Myanmar perlu jadi prioritas dan otoritas setempat perlu mengembalikan pemerintahan yang demokratis "dari sudut pandang Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN)".

Motegi dan Retno, menurut keterangan pers Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, turut prihatin terhadap situasi di Myanmar, termasuk laporan adanya penembakan terhadap demonstran yang menggelar aksi damai oleh aparat keamanan setempat.

Dalam pertemuan yang sama, dua menlu juga menegaskan komitmen memperkuat hubungan bilateral sebagai mitra strategis untuk mendorong penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi bersama.

Militer Myanmar meluncurkan kudeta terhadap pemerintah, pada awal Februari, dan menangkap penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, politisi dari partai pemenang pemilu, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis pro demokrasi dan HAM di Myanmar.

Tidak lama setelah kudeta, militer menetapkan status darurat yang berlaku selama satu tahun. Selama status darurat berlaku, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Myanmar berada di bawah kendali pimpinan tertinggi, Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing.

Dua hari setelah kudeta, kepolisian Myanmar resmi menangkap Suu Kyi atas tuduhan impor alat komunikasi ilegal, sementara Presiden Myint resmi ditangkap karena dianggap melanggar Undang-Undang Tata Kelola Bencana.

Selama status darurat berlaku, pemerintah junta militer Myanmar sempat memutus sambungan telepon dan Internet di beberapa daerah, menutup bandara, dan membatasi akses keluar masuk di perbatasan.

Namun, berbagai pembatasan yang berlaku tidak menghentikan massa untuk turun ke jalan memprotes kudeta militer.

Ribuan warga, mulai dari kelompok buruh, pegawai negeri sipil, tenaga kesehatan, mahasiswa, dan aktivis muda, menggelar aksi damai menolak kudeta militer serta menuntut otoritas setempat mengembalikan kekuasaan ke pemerintahan yang terpilih secara demokratis.

Baca juga: Dubes Jepang : Banyak kesempatan tingkatkan kerja sama dengan RI
Baca juga: RI diharapkan dorong ASEAN dan dunia tegas terhadap kudeta Myanmar
Baca juga: Pertemuan 2+2 Indonesia-Jepang dilaksanakan tahun ini

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021