Jadi menghitung risikonya berbeda-beda tergantung daerah mana yang rawan gempa dan jenis bangunan apa yang terdapat di situ, sehingga mutu dan persyaratan konstruksi bangunannya lebih tepat
Jakarta (ANTARA) - Badan Standardisasi Nasional (BSN) menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726:2019 tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan nongedung, yang penting guna perencanaan konstruksi bangunan tahan gempa sehingga meminimalisasi kerugian dan korban jiwa.

"Dengan perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan yang baik sesuai SNI 1726:2019, kita berharap dapat menciptakan konstruksi gedung atau bangunan yang kokoh serta dapat mencegah dan meminimalisir dampak yang besar akibat gempa," kata Deputi Bidang Pengembangan Standar BSN Nasrudin Irawan dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA, Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan SNI itu memuat persyaratan minimum yang harus dipenuhi, baik menyangkut beban, tingkat bahaya, kriteria yang terkait, serta sasaran kinerja yang diperkirakan untuk bangunan gedung, struktur lain, dan komponen nonstrukturalnya yang memenuhi persyaratan peraturan bangunan.

"Saya mengambil satu contoh dalam SNI yang mempersyaratkan kita harus menghitung beban dari struktur bangunan yang dikombinasikan dengan kekuatan desain bangunan dengan kekuatan guncangan seperti gempa, sehingga diharapkan bangunan bisa beradaptasi atau menahan kekuatan goncangan tersebut," katanya.

Beberapa produk bangunan seperti baja dan semen diwajibkan juga memenuhi SNI, apabila baja dan semen yang digunakan tidak ber-SNI maka tidak bisa dipastikan beton yang dihasilkan sesuai dengan kekuatan yang telah diperhitungkan.

Dengan bahan material ber-SNI dan proses pembangunannya memenuhi persyaratan SNI 1726:2019, unjuk kerja bangunan akan melampaui kekuatan yang dibutuhkan, sehingga mengurangi risiko keruntuhan akibat guncangan.

Nasrudin menuturkan untuk menghitung beban seperti dalam SNI 1726:2019 dilakukan berbasis risiko atau berdasarkan kategori risiko struktur bangunan gedung dan nongedung terhadap pengaruh gempa yang terbagi dalam empat kategori risiko.

"Sebagai contoh untuk kategori risiko I yang dimaksud adalah gedung dan nongedung yang memiliki risiko rendah terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, tapi tidak dibatasi untuk, antara lain fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan: fasilitas sementara gudang penyimpanan; serta rumah jaga dan struktur kecil lainnya," ujarnya.

Baca juga: Untuk kelola bendungan sebagai antisipasi banjir, BSN tetapkan SNI

Namun untuk kategori risiko IV adalah gedung dan nongedung yang dikategorikan sebagai fasilitas yang penting, misalnya gedung sekolah dan fasilitas pendidikan, rumah ibadah, rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas bedah dan unit gawat darurat, fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, dan kantor polisi.

"Jadi menghitung risikonya berbeda-beda tergantung daerah mana yang rawan gempa dan jenis bangunan apa yang terdapat di situ, sehingga mutu dan persyaratan konstruksi bangunannya lebih tepat," tuturnya.

Nasrudin mengatakan struktur bangunan gedung dan nongedung harus didesain menggunakan kombinasi pembebanan berdasarkan ketentuan yang ada. Jadi beban yang dimasukkan untuk menghitung kekuatan struktur telah mencakup beban mati (beban yang permanen seperti beban gedung), beban hidup (beban yang dinamis seperti furnitur dan orang), beban angin dan beban gempa. Gedung yang sudah jadi juga tidak boleh dikembangkan sehingga menambah beban, contoh ruko tiga lantai yang atapnya berupa plat beton dikembangkan menjadi ruangan atau gudang dengan menambah atap, hal ini dapat berisiko menyebabkan runtuhnya bangunan.

Sistem fondasi, baik untuk bangunan gedung dan nongedung, tidak boleh gagal terlebih dahulu daripada struktur yang di tumpunya, sehingga kombinasi pembebanan yang mempertimbangkan faktor kuat harus diaplikasikan dalam desain sistem fondasi.

"Kita harus memastikan fondasi bangunan harus lebih kuat dari bangunan yang akan menumpunya. Jangan sampai konstruksi gedungnya mampu menahan gempa tapi runtuh akibat gagal fondasinya. Fondasi bangunan juga harus menumpu pada tanah yang kuat, jangan sampai fondasi kuat tetapi tanahnya lunak sehingga ambles tidak mampu menahan beban fondasi. Hal ini akan menentukan jenis fondasi yang sesuai dengan kondisi tanah di bawahnya, apabila tanahnya keras bisa menggunakan londasi telapak, namun apabila tanah liat menggunakan tiang pancang, dan sebagainya," ujarnya.

Fondasi bangunan juga harus memperhatikan area di sekitarnya, kemungkinan terjadi retakan secara vertikal yang merusak bangunan. Pastikan bangunan tidak berada pada daerah sesar dan rawan longsor.

Baca juga: BSN perlu gencarkan jemput bola standardisasi produk ke UMKM

Struktur, komponen-elemen struktur dan elemen-elemen fondasi harus didesain melebihi beban-beban terfaktor dengan kombinasi-kombinasi dan telah memperhitungkan faktor keamanan.

Untuk perhitungan beban gempa disesuaikan dengan umur rencana gedung, pada umumnya 50 tahun maka digunakan beban gempa rencana 50 tahunan. Perhitungan beban juga tidak boleh terlalu berlebihan karena merupakan pemborosan dan gedung jadi mahal.

Sebagai contoh, apabila dalam satu kawasan semua gedung runtuh, hanya ada satu yang berdiri, ada kemungkinan perencanaannya terlalu kuat atau boros. Namun apabila semua gedung berdiri tegak, beberapa gedung runtuh, maka kemungkinan salah perhitungan dalam perencanaan atau salah dalam pelaksanaan pembangunan.

Meskipun SNI itu khusus untuk bangunan agar tahan gempa, ruang lingkupnya tidak berlaku untuk bangunan, struktur bangunan dengan sistem struktur yang tidak umum atau yang masih memerlukan pembuktian tentang kelayakannya, dan struktur jembatan (jalan raya dan kereta api), struktur reaktor energi, struktur bangunan keairan dan bendungan, struktur menara transmisi listrik, serta struktur anjungan pelabuhan, anjungan lepas pantai, dan struktur penahan gelombang.

Selain SNI 1726 : 2019, BSN juga telah menetapkan beberapa SNI terkait konstruksi bangunan tahan gempa lainnya di antaranya SNI 1727:2020 beban desain minimum dan kriteria terkait untuk bangunan gedung dan struktur lain, dan SNI 2847:2019 Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung dan Penjelasan.

Selain itu, SNI 1729:2020 Spesifikasi Untuk Bangunan Gedung Baja Struktural, SNI 7972:2020 Sambungan Terprakualifikasi untuk Rangka Momen Khusus dan Menengah Baja Pada Aplikasi Seismik, SNI 7860:2020 Ketentuan Seismik Untuk Bangunan Gedung Baja Struktural, SNI 8369:2020 Praktik Baku Bangunan Gedung dan Jembatan Baja, SNI 8899:2020 Tata Cara Pemilihan dan Modifikasi Gerak Tanah Permukaan untuk Perencanaan Gedung Tahan Gempa, dan SNI 8140:2020 persyaratan beton struktural untuk rumah tinggal.

Baca juga: Pentingnya produk ber-SNI di tengah pandemi
Baca juga: BSN dorong sektor pariwisata terapkan SNI dan protokol kesehatan

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021