mengambil tindakan yang cepat dan gesit untuk bisa melaksanakan lagi sekolah tatap muka
Jakarta (ANTARA) - Sudah setahun lamanya pembelajaran mulai jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi dilakukan di rumah. Pandemi COVID-19 telah mengubah metode pembelajaran yang biasa dilakukan di sekolah menjadi di rumah karena alasan keamanan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan keluarganya.

Dalam praktiknya, terjadi “kegagapan” karena guru maupun siswa tidak siap dan terbiasa dengan pendidikan jarak jauh (PJJ). Kondisi itu diperparah pula dengan belum meratanya akses jaringan internet, ketersediaan gawai, hingga tidak memiliki dana untuk membeli kuota.

Juga kondisi orang tua yang tidak bisa mendampingi anak saat belajar di rumah. Contohnya, saja, Zahra (9), yang terpaksa tidak bisa mengikuti pembelajaran dikarenakan kedua orang tuanya bekerja.

“Saya dan ayahnya bekerja saat pembelajaran dimulai. Saat kami bekerja, Zahra bersama pengasuhnya. Masalahnya pengasuhnya tidak paham bagaimana menggunakan gawai saat belajar,” kata ibu Zahra, Aulia di Jakarta.

Aulia bekerja di salah satu perusahaan sepatu di Kabupaten Tangerang. Sementara suaminya juga bekerja sebagai buruh pabrik di perusahaan yang memproduksi kasur. Meski pandemi, perusahaan tetap mewajibkan karyawannya untuk bekerja dari kantor. Tidak ada kebijakan bekerja dari rumah selama pandemi COVID-19.

Dia menambahkan anaknya tersebut baru dapat belajar saat malam hari, saat kedua orang tuanya sudah pulang kerja. Kondisi itu tentu tidak nyaman, karena anaknya ketinggalan pelajaran dibandingkan teman-teman sekelasnya karena pembelajaran dilakukan secara sinkronus (langsung) dengan menggunakan platform Zoom dan juga panggilan video.

“Kalau dibiarkan terus seperti ini, saya khawatir anak saya semakin tertinggal,” keluhnya.

Kondisi serupa juga dialami banyak orang tua siswa lainnya, yang mengeluhkan pendidikan jarak jauh yang membuat motivasi siswa belajar semakin menurun. Rusdi (35), ayah dengan satu anak juga mengeluhkan semakin menurunnya motivasi anaknya dalam belajar.

“Awal-awal belajar dari rumah bersemangat, tapi makin ke sini semakin menurun,” kata Rusdi.

Anaknya mulai jenuh belajar di rumah, karena membutuhkan interaksi dengan teman-temannya. Setahun lamanya, anaknya hanya bermain di rumah dan mengalami kebosanan karena terbatasnya ruang gerak. Saat pembelajaran dilakukan pun, anaknya hanya bertahan paling lama lima menit kemudian mematikan kamera dan suara di aplikasi Zoom tersebut, dan memilih bermain dengan mainannya.

Sebagai orang tua, lanjut Rusdi, harus bisa terus memotivasi anaknya untuk terus belajar. Ia berusaha mendampingi anaknya selama pembelajaran di rumah.

Lain lagi dengan Riki (10), siswa kelas empat SD di wilayah Pandeglang, Banten, yang belajar di rumah bersama temannya dengan metode guru kunjung. Siswa berkumpul di rumah seorang siswa dan guru berkunjung ke rumah itu untuk memberikan pembelajaran.

Pada awal pandemi, ia kesulitan belajar dari rumah karena tidak memiliki gawai dan jaringan internet yang buruk. Untuk belajar, Riki ke sekolah untuk mengambil tugas sepekan. Rutinitas itu dilakukan selama dua bulan. Belajar di rumah dengan metode seperti itu membuatnya kesulitan karena orang tuanya tidak bisa mendampinginya. Bukan soal waktu, tetapi orang tuanya hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan memahami pembelajaran anaknya sepenuhnya.

Baca juga: Kerja keras pemerintah dan sekolah kala pandemi

Hilangnya kesempatan belajar

Pembelajaran di rumah yang dilakukan selama berbulan-bulan memiliki dampak yang tidak bisa dianggap enteng. Ketimpangan pembelajaran semakin nyata adanya. Kondisi psikologis siswa pun juga terganggu.

Siswa yang memiliki fasilitas memadai dan mendapat pendampingan saat belajar di rumah, tidak memiliki dampak signifikan. Beda halnya dengan siswa dari keluarga menengah ke bawah, yang tidak memiliki fasilitas pembelajaran dan pendampingan menjadi semakin tertinggal.

Kondisi itu tidak hanya terjadi di Tanah Air saja, tetapi permasalahan yang ada di seluruh negara di dunia. Bagaimana pun pembelajaran tatap muka tetap pilihan yang terbaik.

Laporan World Bank menyebutkan pandemi COVID-19 telah membuat krisis dalam pendidikan dan pembelajaran pada abad ini. Pendidikan yang mengalami disrupsi memperburuk krisis pendidikan yang telah ada sebelumnya.

Sebelum pandemi melanda dunia, setidaknya 258 juta anak khususnya yang berumur sekolah dasar dan menengah tidak bisa mengenyam pendidikan dan tingkat kesulitan pembelajaran (learning poverty) di negara pendapatan rendah dan menengah 53 persen.

Setidaknya sebanyak 1,6 juta anak di seluruh dunia terpaksa belajar di rumah sejak April 2020. Hingga saat ini terdapat setidaknya 700 juta siswa yang masih melakukan pembelajaran di rumah.

Siswa usia dini memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dalam kehilangan kesempatan belajar atau learning loss, memperburuk disparitas yang ada dalam hal nutrisi, kesehatan, maupun stimulasi. Pandemi COVID-19 juga menempatkan orang tua sebagai pendidik utama dalam pembelajaran anak yang tentu saja semakin membebani orang tua, terutama yang berlatar belakang menengah ke bawah.

United Nations Children’s Fund (Unicef) menyatakan dalam laporannya pada Desember 2020, terdapat sekitar 938 anak putus sekolah akibat pandemi COVID-19. Faktor utama yang menjadi penyebab putus sekolah dikarenakan masalah ekonomi.

Oleh karena itu diperlukan pemetaan kondisi siswa di Tanah Air untuk mencegah dampak learning loss semakin berlanjut, dan ini juga yang disarankan pemerhati pendidikan Indra Charismiadji.

Selain kendala infrastruktur pembelajaran jarak jauh, menurut Indra, saat awal pandemi, siswa dan guru masih gagap dengan PJJ.

Saat ini kondisi mulai sedikit membaik karena sejumlah daerah mulai menerapkan berbagai inovasi PJJ disesuaikan dengan keadaan infrastruktur daerah seperti bekerja sama dengan stasiun televisi dan radio lokal.

Demikian sejumlah guru mampu menciptakan inovasi yang membuat PJJ diselingi dengan kunjungan ke rumah siswa pada saat-saat tertentu dengan protokol kesehatan yang ketat.

Kemendikbud juga melakukan pengembangan mutu guru agar dapat mengajar PJJ dengan baik, memberikan bantuan gawai dan pulsa.  Perbaikan jaringan internet di daerah juga dikebut untuk memperlancar PJJ.

Baca juga: Pemprov DKI siapkan pembelajaran dengan skema "blended learning"

Intervensi kebijakan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim, dalam peluncuran vaksinasi bagi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK), mensinyalkan adanya harapan baru pada sektor pendidikan yang terpuruk akibat pandemi.

Nadiem yakin jika vaksinasi bagi PTK selesai akhir bulan Juni, maka tahun ajaran berikutnya, pada Juli, bisa melakukan pembelajaran tatap muka.

Tenaga pendidik itu menjadi salah satu yang prioritas dikarenakan sudah cukup lama siswa tidak sekolah tatap muka. Dan prioritas vaksin diberikan bagi guru yang mengajar jenjang yang lebih muda yakni dari jenjang PAUD, SD dan SLB baru kemudian jenjang SMP, SMA dan perguruan tinggi

Kebijakan ini dikeluarkan karena semakin muda peserta didik atau jenjang sekolah, semakin sulit melakukan pendidikan jarak jauh. Siswa jenjang PAUD dan SD membutuhkan interaksi fisik dan pembelajaran tatap muka.

Pemerintah berusaha melakukan tindakan cepat supaya pembelajaran tatap muka bisa dilaksanakan lagi karena pelaksanaan pembelajaran dari jarak jauh dalam jangka panjang bisa mempengaruhi perkembangan anak.

"Kita mengambil tindakan yang cepat dan gesit untuk bisa melaksanakan lagi sekolah tatap muka," kata Nadiem.

Sejumlah persoalan yang terjadi akibat pembelajaran di rumah mulai dari ancaman putus sekolah dan terpaksa bekerja membantu orang tua, penurunan capaian belajar, hingga peningkatan kekerasan terhadap anak dan risiko psikososial.

Berbagai upaya dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar pembelajaran tetap berjalan meskipun pembelajaran dilakukan dari rumah dengan sejumlah keterbatasan.

Mulai dari penyesuaian program pembelajaran hingga penyesuaian dan keleluasaan penggunaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sejumlah program pembelajaran dilakukan melalui TVRI hingga bekerja sama dengan sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang pembelajaran.

Pada Agustus 2020, pemerintah mengeluarkan kebijakan diperbolehkannya pembelajaran tatap muka khususnya untuk sekolah yang berada di zona hijau dan kuning. Kabupaten/kota yang berada di zona hijau dan kuning tidak terdampak pandemi COVID-19 dan biasanya berada pada daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T).

Kebijakan tersebut diambil mengingat siswa di daerah tersebut kesulitan melakukan pembelajaran karena ketiadaan gawai dan juga jaringan internet. Jika ada kasus COVID-19, maka dilakukan penutupan sekolah.

Mulai September 2020, Kemendikbud mengeluarkan kebijakan revolusioner yakni pemberian kuota internet bagi siswa, mahasiswa, guru dan dosen. Kemendikbud beserta pemangku kepentingan lainnya memberikan subsidi kuota internet untuk siswa, guru, mahasiswa, dan dosen selama empat bulan senilai Rp7,2 triliun.

Pada November 2020, Kemendikbud mengeluarkan kebijakan lainnya melalui penyesuaian Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama (Menag), Menteri Kesehatan (Menkes), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi COVID-19.

Dalam penyesuaian kebijakan tersebut, Kementerian memberikan kewenangan pada pemerintah daerah untuk melakukan pembelajaran tatap muka mulai semester genap 2020/2021.

Buka tutup sekolah, kata Nadiem, merupakan hal yang lumrah dilakukan pada saat pandemi. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh negara. Upaya itu perlu dilakukan agar siswa yang kesulitan dalam melakukan pembelajaran jarak jauh tidak semakin tertinggal.

Pemerintah perlu mengakselerasi pembelajaran pascapandemi COVID-19. Jika akselerasi tidak dilakukan maka bukan tidak mungkin SDM unggul yang dicita-citakan hanya slogan belaka.

Baca juga: Pendidikan jarak jauh dan online pangkas separuh biaya kuliah
Baca juga: Yogyakarta atasi masalah belajar via daring dengan Guru Berkunjung


Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021