Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyatakan berdasarkan hasil kajian yang dilakukan lembaga tersebut ditemukan beberapa kelemahan terkait pengkategorian limbah abu terbang dan abu padat (FABA) sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

"Pada tahun 2020, KPK juga telah melakukan telaah terhadap pengelolaan FABA batu bara di PLTU. Tujuan kegiatan ini juga sama halnya untuk mencegah agar tidak terjadi tindak pidana korupsi dan juga pada potensi kerugian negara yang disebabkan terhadap kelemahan berbagai kebijakan ini," katanya saat menjadi pembicara dalam diskusi daring pada Senin bertema "Menjawab Dilema FABA".

Baca juga: Pengamat sebut limbah FABA dapat dikelola dengan teknologi

Baca juga: Asosiasi industri usulkan FABA dihapus dari daftar limbah B3


Dari hasil telaah, lanjut Lili, KPK menemukan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang memasukkan FABA sebagai limbah B3 memiliki beberapa kelemahan.

"Kelemahan itu antara lain dari hasil studi literatur didapatkan bahwa pengkategorian FABA sebagai limbah B3 ini tidak sesuai dengan praktik di berbagai negara internasional seperti di Jepang, Amerika Serikat, Australia, China, Eropa di mana FABA dikategorikan sebagai limbah non B3," ungkap Lili.

Selanjutnya, ia mengatakan sebagian besar PLTU milik PLN dengan energi primernya berasal dari batu bara yang menghasilkan FABA.

"Di mana pengelolaan harus patuh pada PP tersebut dan ini menyebabkan timbulnya pembiayaan yang menjadi salah satu unsur peningkatan BPP (Biaya Pokok Penyediaan) PLN di tahun 2019 sebesar Rp74 per kWh dan secara signifikan kenaikan BPP per kWh untuk pembangkit-pembangkit listrik di luar Pulau Jawa seperti PLTU Labuhan Angin pada Sumatera ini sebesar Rp790,65 per kWh," kata Lili.

Oleh karena itu, dengan dimasukkannya FABA sebagai limbah B3 dapat meningkatkan risiko korupsi pada tata kelola FABA dan mengurangi peluang pada pemanfaatannya secara maksimal sebagai bahan baku pada industri konvensional.

"Dengan nilai potensi Rp300 triliun maupun pada industri maju atau nano teknologi dengan nilai tambah yang berlipat," ujar Lili.

Baca juga: KLHK jelaskan alasan abu PLTU masuk dalam limbah non-B3

Baca juga: KLHK: Pengelolaan limbah abu PLTU harus sesuai standar meski non-B3



 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021