Solo (ANTARA News) - "Makin sedikit orang yang peduli terhadap kebudayaan sendiri. Justru orang asing yang melestarikan kebudayaan kita," ucap Ketua Festival Seni Sakral Hindu, Sunarto, di Solo.

Festival Seni Sakral agama Hindu untuk pertama kalinya digelar di Solo, Jawa Tengah. Tujuannya, mempererat komunikasi antar umat Hindu di seluruh tanah air.
Pelaksanaannya dimulai pada 15-17 Juni 2010, selain mempertunjukkan tari sakral agama Hindu yang berasal dari sepuluh daerah di tanah air, juga digelar karnaval yang mempertontonkan kebudayaan daerah dari masing-masing peserta.

Sekitar 500 peserta berpartisipasi dalam festival spektakuler ini. Peserta sebanyak itu berasal dari daerah Lampung, Sumatera Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Rencananya festival ini akan diadakan setiap tiga tahun sekali, dengan lokasi acara yang berbeda-beda..

Festival itu dimeriahkan oleh sepuluh kontingen. Tiap kontingen beranggota 50 orang, meliputi warga dan seniman Hindu. Mereka berasal dari Bali, Jakarta, Makassar, Palembang, Lombok, dan daerah lain.

"Tema yang kami angkat adalah Dewi Saraswati. Dia sosok dewi ilmu pengetahuan. Kami ingin memberikan pesan kepada masyarakat bahwa dengan ilmu pengetahuan manusia akan lebih beretika dan tiap langkahnya selalu mengandung estetika," ucapnya.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Hindu, IBG. Yudha Triguna menyebutkan alasan festival tersebut digelar di Solo karena keamanan dan kenyamanan.

Selain itu, Solo dinilai memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan kota lain. Solo juga terbiasa menggelar event bersekala nasional dan internasional yang berkaitan dengan seni, kata Triguna dengan suara haru.

Ia mengtakan, tidak memilih Bali untuk tempat penyelenggaraan festival itu. Alasannya, karena di Bali baru digelar Festival Bali. "Sehingga kami memilih Solo sebagai tempat untuk menggelar Festival Sakral Agama Hindu tersebut," ia menjelaskan.


Meriah

Sementara itu pada acara karnaval, sebagai tanda pembuka kegiatan Festival Seni Sakral Keagaan Hindu Tingkat Nasional pertama 2010 di Surakarta, berlangsung meriah.

Tatkala barisan karnaval lewat, jalan protokol di Surakarta bagai di Pulau Dewata. Saat itu, memang, umat Hindu dari berbagai provinsi ikut ambil bagian dalam kegiatan yang baru pertama kali diselenggarakan itu.

Gamelan dimainkan para penabuh dengan suara menghentak. Sementara suara gong menyentak telinga hadirin dengan suara keras. Kadang tiba-tiba suara tetabuhan meredup. Penabuh memukul gamelan dengan pukulan sekuat tenaga. Mendadak sontak, suara sahdu mendominasi suasana.

Suara lonceng yang dibawa oleh para Pindandita menggema. Atmosfir Pulau Bali terasa makin kuat. Belum lagi asap dupa dan wewangian menyengat hidung Seluruh kontingen membawakan seni tradisi daerah yang dipadukan dengan seni sakral Agama Hindu.

Provinsi Jawa Timur, misalnya, tampilan seni Reog disandingkan dengan irama gong kebyar. Dari Nusa Tenggara Barat berusaha mengkompromikan pakaian adatnya sebagai busana dalam upacara peribadatan. Kontingen DKI Jakarta menonjolkan pakaian "ala" Jampang dan dipadu dengan khas tradisi Hindu.

Surakarta menampilkan sebuah patung Dewi Saraswati terbuat dari stereofoam setinggi lima meter. Mereka juga menyajikan replika Candi Prambanan dengan ukuran yang hampir sama.

Karnaval disaksikan ribuan orang itu. Banyak umat Hindu dari berbagai usia tak melepaskan kesempatan langka itu. Mereka melakukan pawai dari Lapangan Kottabarat menuju Balai Kota Surakarta yang berjarak sekitar empat kilometer.

"Kegiatan ini baru pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia," kata Ketua Panitia Festival Seni Sakral Keagamaan Hindu Tingkat Nasional 2010 , Sunarto, mengulangi penjelasannya

Seni sakral merupakan sebuah kesenian yang dipersembahkan kepada Tuhan. "Ada beberapa seni sakral yang dilombakan," kata salah seorang panitia, I Nyoman Sukerna.

Jenis kesenian yang dilombakan meliputi tabuh atau gamelan, gegitaan atau tembang, Tari Rejang serta Tari Sidakarya. Kegiatan tersebut akan berlangsung sejak 15 Juni hingga 17 Juni 2010.

Esensi dari kegiatn ini sesungguhnya merupakan ajang mencari jatidiri bangsa yang belakangan ini makin ditinggalkan generasi mendatang, kata Ketut Lancer, Direktur Agama Hindu Kementerian Agama.


Revitalisasi

Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah, Prof. Dr. T. Slamet Suparmo MS mengatakan, Festival Sakral Hindu Nasional pertama merupakan ajang revitalisasi budaya Indonesia.

"Budaya Indonesia yang hampir punah, kini kembali muncul ke permukaan melalui festival ini," katanya di Solo, mengomentari pelaksanaan kegiatan festival tersebut.

Slamet Suparmo mengaku bahwa festival ini amat dibutuhkan bagi bangsa Indonesia di tengah krisis moral. Utamanya degradasi moral bangsa melalui kemasan budaya "tak senonoh" yang belakangan ini membuat para orang tua merasa prihatin.

"Kita benar-benar mengalami krisis. Jangan-jangan kita tak kenal budaya sendiri. Tarian tradisional bernuansa sakral lenyap," katanya, dengan nada prihatin.

Menurut Slamet Suparmo , ada baiknya kegiatan ini dijadikan kegiatan tahunan. Minimal tiga tahun sekali, dengan harapan seluruh daerah bisa memperbaiki diri tatkala hendak tampil pada festival serupa.

"Jadi, mereka ketika tampil nanti, dalam kondisi segar. Tampilan tariannya pun atraktif dan menarik," katanya penuh harap.

Terkait pemilihan tempat festival di kota Solo, ia mengatakan, hal itu disebabkan jajaran Pemda Surakarta dan masyarakat setempat memberikan dukungan penuh.

"Coba, anda lihat tatkala pesta festival dibuka. Warga sangat antusias menyaksikannya," ia menjelaskan.

Prihal pemilihan tempat festival berikutnya, ia mengatakan, Pemda Surakarta masih berkinginan agar diselenggarakan di kota Solo. Namun ia sadar bahwa daerah lain harus diberi kesempatan. Tujuannya, tak lain, agar budaya Indonesia tetap dapat dilestarikan di tengah tantangan pengaruh globalisasi.


Seniman, komunikator handal

Terkait pelaksanaan event akbar itu, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan, pada dasarnya seniman juga seorang komunikator yang handal dalam menyampaikan pesan moral dan etika kepada umat, sehingga ajaran agama membumi dan menjadi panduan praktis bagi umat manusia.

Pernyataan itu disampaikan menteri agama dalam sambutan tertulis yang dibacakan Dirjen Bimas Hindu Prof Dr IBG Yudha Triguna MS pada pembukaan Festival Seni Sakral Keagamaan Hindu tingkat nasional, di Solo.

Menteri menjelaskan dalam banyak aktivitas keagamaan, seniman punya peran strategis. Bahkan perannya sebagai penyuluh agama utama.

Seniman seni keagamaan disamping menguasai gerak tari, tembang, dan atribut seni sakral lainnya, ia juga sebagai penafsir ajaran agama agar senantiasa relevan dengan situasi dan lingkungan yang berubah dengan cepat.

"Seniman juga seorang komunikator yang handal dalam menyampaikan pesan moral dan etika kepada umat," katanya.

Oleh karena itu, menurut menteri, menghadapi perubahan di lingkungan sekitar yang demikian cepat, umat butuh peningkatan "human capital" melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan berkarakter.

Umat beragama, menurut dia, setiap saat harus didorong memperluas pengetahuan agama dan pengetahuan lainnya, sehingga setiap umat memahami dengan baik agamanya, mampu berkomunikasi, serta berdialog dengan umat lain dengan baik pula.

Ia mengatakan setiap insan beragama terus dipacu untuk memperoleh pengetahuan yang benar, yakni pengetahuan yang mampu membuat dirinya, keluarga dan lingkungannya menjadi sejahtera.

"Pengetahuan yang benar juga berarti pengetahuan yang diperoleh secara benar," katanya.

Menag menyatakan dirinya memberi apresiasi terhadap kegiatan inspiratif dan ekspresif.

Dimensi inspiratifnya adalah kegiatan festival yang didahului dengan karnaval pada Selasa petang, yakni karnaval seni keagamaan yang menonjolkan kekayaan seni sakral keagamaan yang bersumber dari khasanah seni daerah.

Disamping inspiraif dan ekspresif, kegiatan itu melibatkan sekitar 700 seniman seni sakral keagamaan Hindu dari 10 provinsi, dan 1.000 orang lebih peserta karnaval seni keagamaan.

Ia meminta agar kegiatan ini tidak berhenti hanya pada hal-hal yang bersifat ekspresif, tetapi harus mampu memberikan pendalaman terhadap pengetahuan agama, keterampilan, dan penambahan nilai yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. (E001/K004)

Oleh Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010