bangunan yang sudah terlanjur berdiri di zona RTH ini agar ke depannya tidak dipermasalahkan legalitasnya
Jakarta (ANTARA) - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebut pembangunan tempat ibadah di atas lahan Ruang Terbuka Hijau sebagai daerah resapan air kota tidak masalah, bahkan tidak terkategorikan sebagai melanggar peraturan daerah (perda).

"Saya kira itu bukan sesuatu yang melanggar karena pada prinsipnya ruang-ruang di Jakarta ini diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat," kata Ariza di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat.

Malahan, Riza menyerahkan kebebasan untuk mempertimbangkan sendiri layak atau tidaknya lahan tersebut kepada masyarakat untuk dipakai membangun tempat ibadah. Bahkan dia menyebut Pemprov DKI Jakarta akan membuat regulasi pendukungnya.

"Masyarakat sekitar lah yang lebih tahu kira-kira lokasi itu sebaiknya diperuntukkan untuk apa Jadi kami tentu dari Pemprov banyak membuat regulasi memfasilitasi dan mendukung apa yang terbaik bagi masyarakat," tuturnya.

Baca juga: Wali Kota Jakut minta ASN menjadikan kerja sebagai ladang ibadah

RTH sendiri, punya peran sangat penting keberadaan RTH salah satunya menangani banjir atau mengurangi efek rumah kaca. Saat ini keberadaan RTH di Jakarta masih sangat jauh dari target, yakni hanya 9,9 persen saja dari target 30 persen.

Sejauh ini memang banyak rumah ibadah dan sekolah yang sudah terlanjur berdiri di atas area RTH.

Sementara, anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Lukmanul Hakim juga telah mengonfirmasi hal ini, menurutnya RTH yang berfungsi sebagai daerah resapan air untuk mengantisipasi banjir Jakarta justru diserobot oleh bangunan sekolah dan tempat ibadah.

Kendati demikian, dia tidak menyebutkan jumlah lahan yang disalahgunakan itu, namun hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun di Jakarta dan membuat lahan RTH Ibu Kota kian menyusut.

Baca juga: Permintaan ruang perkantoran di CBD Jakarta aktif pada triwulan I 2021

"Realitanya sudah banyak tempat ibadah dan sekolah yang berdiri di RTH," kata Lukmanul

Kendati begitu Lukmanul meminta agar bangunan yang sudah terlanjur berdiri di zona RTH ini agar ke depannya tidak dipermasalahkan aspek legalnya, sehingga lahan itu tidak lagi dikategorikan sebagai pelanggaran zona pembangunan.

Cara melegalkan bangunan yang sudah menyerobot lahan RTH tersebut adalah dengan merumus ulang sejumlah poin penting yang tertuang dalam berbagai peraturan daerah.

Saat ini Bapemperda DPRD DKI dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta sedang membahas tiga rancangan perda tata ruang di ibu kota.

Baca juga: Pemprov DKI Jakarta janji tambah tempat bermain skateboard

Ketiga raperda itu adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Raperda Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030, serta Raperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Lukmanul meminta agar rancangan perubahan zonasi di DKI Jakarta.berpihak pada keberadaan rumah ibadah dan sekolah.

"Harus dirumuskan sedari awal. Tinggal ke depan kita pikirkan supaya keberadaannya jangan dianggap melanggar aturan. Ini penting untuk memberi kepastian hukum bagi warga sekitar yang membutuhkan fasilitas tersebut. Kasihan jamaah, lagi shalat sambil mikir mushalahnya bakal digusur," ujarnya menambahkan.

Rumah Ibadah RTH
Sebelumnya, berdasarkan informasi yang beredar, ada masalah mengenai pendirian rumah ibadah di atas RTH di kompleks Taman Villa Meruya (TVM). Warga sendiri menegaskan tidak keberatan dengan rencana pendirian tempat ibadah, tetapi lokasinya diharapkan sesuai 'site plan' yang sudah dibuat pengembang dan tidak menggunakan lahan taman kota atau ruang terbuka hijau (RTH).

Ketua RT 05/RW 10, Kelurahan Meruya Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, Hendro Hananto, Kamis (15/4) menjelaskan sejumlah warga RW 10 tidak keberatan dengan rencana warga lainnya yang membentuk tim pemrakarsa untuk mendirikan masjid. Namun, lokasi pembangunannya seharusnya bukan di lahan taman kota atau RTH, melainkan di atas lahan yang dikenal dengan nama sarana suka ibadah (SSI).

Dijelaskannya, di atas lahan hijau seluas 1.078 meter persegi sudah ada bangunan kantor RW untuk kepentingan dua wilayah yakni Tangerang dan Jakarta Barat, serta seluruh warga TVM. RTH itu digunakan untuk fasilitas umum (fasum) bagi semua warga dan sesuai dengan site plan yang diserahkan pengembang ke Pemerintah Kota Jakarta Barat dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.

Baca juga: Perubahan Perda Tata Ruang Jakarta beri dampak positif bagi investor

"Site plan-nya sudah jelas bahwa tanah seluas 1.078 meter persegi di Blok C1 yang sekarang diminta tim pemrakarsa itu sebenarnya adalah lahan hijau atau taman kota. Zonasinya H2, ruang terbuka hijau dan itu untuk fasilitas umum, untuk masyarakat di dua wilayah," tegasnya.

Taman Villa Meruya, lanjut Hendro, memiliki lahan SSI seluas 312 meter persegi, sarana suka kesehatan 362 meter persegi, dan sarana suka pendidikan 1.655 meter persegi yang masih kosong dan bisa digunakan untuk mendirikan tempat ibadah.

"Jadi di situ ada tanah kosong kurang lebih 2.300 meter persegi. SSI itu sesuai site plan dan kalau memang mau dipakai teman-teman muslim untuk mendirikan rumah ibadah, warga tidak keberatan," jelasnya.

Lebih jauh, Hendro menyebutkan bahwa warga juga sudah berinisiatif mengajukan penambahan luas lahan 1.000 meter persegi sehingga menjadi 1.300 meter untuk SSI ke Pemprov DKI Jakarta pada 18 Desember 2019. Namun, permohonan penambahan lahan fasum dan fasilitas sosial untuk tempat ibadah itu tidak mendapat respons.

"Kita sudah cek ke Pemkot Jakarta Barat dan sebenarnya sudah ada proses, tetapi harus menunggu disposisi Pemprov DKI. Namun, kemudian enggak ada kejelasannya," katanya.

Seiring waktu, lanjut Hendro, tim pemrakarsa mendapatkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1021 Tahun 2020 tentang Persetujuan Pemanfaatan Barang Milik Daerah Berupa Tanah di Taman Villa Meruya yang ditujukan kepada Panitia Pembangunan Masjid At-Tabayyun, namun tanpa sepengetahuan dan seizin warga sekitar.

Hal itu kemudian menjadi dasar bagi warga TVM mengajukan gugatan terhadap SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1021 Tahun 2020 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pada saat gugatan diproses di PTUN, ada verifikasi dari Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) sebagai syarat pendirian tempat ibadah. Tim pemrakarsa telah mengumpulkan 90 KTP dan mendapatkan persetujuan dari 60 warga setempat, ketua RT, ketua RW, tokoh masyarakat, lewat surat bermeterai serta disahkan lurah dan camat.

"Kami agak sangsi saat mereka bilang mendapatkan persetujuan 68 warga non-muslim. Ketika kami melakukan polling pada bulan November, sebagian besar dari 350 warga Taman Villa Meruya mendukung pembangunan tempat ibadah di SSI, di samping St John. Pada saat verifikasi, kami baru tahu bahwa yang diundang adalah warga masyarakat sekitar, bukan warga setempat. Ketua RT juga tidak diundang. Seharusnya yang diundang verifikasi kan warga setempat dan pengurus RT. Karena kami tidak diundang, maka kami tidak bisa bersuara," terangnya.

Akhirnya, keluar surat rekomendasi dari FKUB Jakarta Barat dan selanjutnya dilakukan pertemuan dengan FKUB Provinsi DKI Jakarta.

"Kami sangat appreciate karena FKUB provinsi meminta dihadirkan warga dan ketua RT setempat. Di situ kami berproses. Kami menyampaikan bahwa secara prinsip tidak keberatan dengan rencana teman-teman mendirikan tempat ibadah masjid. Kami keberatan terhadap lokasinya, karena sudah ada SSI. Memang luasnya 312 meter persegi, tetapi kalau mau sama-sama diurus lebih mudah karena itu fasilitas sosial. Sarana pendidikan belum dipakai dan sarana kesehatan juga belum dipakai. Jadi kalau mau diperluas seharusnya lebih mudah dibandingkan dengan mengalihfungsikan RTH atau lahan hijau zonasi H2," ucapnya.

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021